Utopia Gaza Baru: Antara Ambisi Trump dan Darah Pejuang

Bendera Palestina (gambar: pinterest)

Oleh: Badat Alauddin*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Sejumlah 20 poin yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 29 September 2025 menjadi salah satu skema paling ambisius dalam sejarah panjang konflik Palestina-Israel.

Di tengah perang yang telah menelan ribuan korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur Gaza, Trump seolah mencoba hadir sebagai juru selamat untuk membangun ulang wilayah yang selama ini menjadi simbol penderitaan dan perlawanan.

Namun di balik janji-janji manis rekonstruksi dan perdamaian itu, tersimpan kompleksitas politik, sosial, dan kultural yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Inti dari rencana Trump adalah metransformasi Gaza menjadi zona bebas teror, yang aman dan damai. Dalam visi Trump, Gaza seolah akan dibangun ulang demi kepentingan rakyatnya, dengan bantuan internasional yang dikelola oleh lembaga-lembaga netral seperti PBB dan Palang Merah.

Distribusi bantuan akan dilakukan tanpa intervensi Israel maupun Hamas, dan jalur perlintasan Rafah akan dibuka sesuai mekanisme yang telah disepakati sebelumnya.

Ini menunjukkan upaya untuk menciptakan sistem distribusi yang transparan dan berkeadilan, meski tantangan di lapangan bisa sangat rumit.

Salah satu usulan Trump paling kontroversial adalah pembentukan pemerintahan transisional yang terdiri dari teknokrat Palestina dan ahli internasional, di bawah pengawasan Dewan Perdamaian yang dipimpin langsung oleh Trump.

Badan ini akan bertugas menetapkan kerangka kerja pembangunan, reformasi pemerintahan, dan menarik investasi asing. Di sini, muncul pertanyaan besar: apakah rakyat Gaza akan menerima pemerintahan yang dikendalikan Trump dari luar, meski dengan janji modernisasi dan efisiensi?

Apakah pendekatan top-down ini mampu menjawab aspirasi lokal yang selama ini tumbuh dalam konteks perlawanan dan identitas nasional?

Rencana yang cukup gila ini mencakup proses demiliterisasi Gaza secara menyeluruh, penghancuran infrastruktur militer Hamas, dan pelucutan senjata yang diawasi oleh pengawas independen.

Hamas dan fraksi lainnya dilarang terlibat dalam pemerintahan Gaza, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai gantinya, anggota Hamas yang dilucuti senjata akan diberi amnesti dan jalur aman untuk meninggalkan Gaza.

Ini adalah langkah yang berisiko tinggi, karena menyentuh jantung dari harapan masyarakat Gaza dan identitas politik yang telah mengakar selama puluhan tahun.

Di sisi ekonomi, Trump menawarkan pembentukan zona ekonomi spesial dengan insentif pajak dan harga yang menarik bagi investor. Panel ahli yang telah membantu membangun kota-kota modern di Timur Tengah akan dilibatkan untuk merancang Gaza Baru.

Tujuannya adalah menciptakan lapangan kerja, peluang, dengan harapan bagi generasi muda Gaza. Namun, pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari stabilitas politik dan sosial.

Lantas, sanggupkah masyarakat Gaza mempercayai tokoh yang pernah menjadi dalang dari semua kerusakan di Gaza bertahun-tahun silam?

Tanpa rekonsiliasi yang mendalam dan kemampuan untuk meyakinkan partisipasi aktif masyarakat lokal, investasi bisa menjadi proyek bodong menyentuh akar persoalan.

Rencana ini juga menjanjikan pembebasan sandera dan tahanan, serta pertukaran jasad sebagai bagian dari proses rekonsiliasi.

Negeri Paman Sam akan membentuk International Stabilization Force (ISF) yang akan bekerja sama dengan negara-negara Arab, Israel, dan Mesir untuk menjaga keamanan perbatasan dan mendukung stablitas politik di Palestina.

Ini menunjukkan pendekatan multilateralisme dalam menjaga stabilitas, namun juga membuka ruang bagi ketegangan baru jika tidak dikelola dengan bijak.

Yang menarik lagi, skema yg di ajukan Trump ini mengakui aspirasi rakyat Palestina untuk memiliki negara berdaulat. Saat pembangunan Gaza berlangsung dan reformasi Otoritas Palestina berjalan, akan dibuka jalan menuju kedaulatan Palestina.

Ini adalah hal yang unik dari negara yang selalu mengambil hak veto-nya untuk membatalkan vote di sidang PBB, namun masih bersifat normatif dan bergantung pada banyak variabel politik yang belum tentu berpihak pada rakyat Palestina.

Dalam poinnya Trump juga membahas ajakan untuk dialog lintas iman dan pembentukan cakrawala politik baru antara Israel dan Palestina. Ini adalah langkah simbolik yang penting, namun harus dibarengi dengan perubahan narasi, pendidikan, dan media yang selama ini memperkuat polarisasi.

Secara keseluruhan, skema Trump ini apakah bentuk pertaubatan sebagai upaya besar untuk mengakhiri perang dan membangun perdamaian di tanah yg dijanjikan?

Mari kita saksikan, namun jangan lupa keberhasilannya sangat bergantung pada penerimaan lokal, komitmen internasional, dan kemampuan untuk menjembatani antara harapan dan kenyataan.

Gaza Baru bukan hanya soal infrastruktur dan investasi, tetapi juga soal keadilan, martabat, air mata anak-anak kelaparan, darah pejuang yang syahid dan hak rakyat Gaza untuk menentukan nasibnya sendiri. Tanpa itu, perdamaian bisa menjadi proyek yang indah di atas kertas, namun rapuh di lapangan. (Red)

*) Badat Alauddin, pengamat Timur Tengah dari Islamic International University Islamabad

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like