Peningkatan Islamofobia di Prancis: Antara Ancaman, Trauma, dan Tantangan Kebijakan

Demonstrasi anti Islamophobia di Prancis. (Foto file – Anadolu Agency)

Oleh: Nashrul Mu’minin*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kasus penemuan kepala babi di sembilan masjid di Prancis pada September 2025 kembali membuka luka lama tentang meningkatnya gelombang Islamofobia di negara tersebut.

Masalah utama yang mengemuka adalah diskriminasi sistematis terhadap umat Muslim, baik dalam bentuk ujaran kebencian maupun tindakan simbolis yang mengganggu rasa aman mereka.

Tindakan ini bukan hanya serangan pada tempat ibadah, tetapi juga pada identitas keagamaan yang terus mengalami tekanan. Insiden ini memperlihatkan bagaimana Islamofobia telah bertransformasi dari wacana politik ke dalam aksi nyata yang mengintimidasi komunitas Muslim sehari-hari

Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengurai dampak psikis dan sosial terhadap komunitas Muslim Prancis, serta menelaah respon pemerintah dalam menghadapi situasi yang semakin mengkhawatirkan.

Data dari Collective Against Islamophobia in France (CCIF) menunjukkan adanya peningkatan laporan insiden Islamofobia sebanyak 32% pada 2024 dibandingkan 2023.

Tujuan lain adalah mencari strategi yang memungkinkan komunitas Muslim dan pemerintah bersama-sama membangun sistem perlindungan sosial yang mampu meredam eskalasi diskriminasi.

Hasil survei Pew Research Center pada 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 45% warga Muslim di Prancis merasa tidak aman ketika mengenakan atribut keagamaan di ruang publik.

Sementara itu, 51% responden Muslim mengaku pernah mengalami bentuk diskriminasi langsung, baik dalam pekerjaan maupun interaksi sosial.

Angka ini menguatkan kesimpulan bahwa Islamofobia di Prancis tidak hanya menjadi fenomena insidental, melainkan masalah struktural yang mengakar. Kasus kepala babi hanyalah puncak gunung es dari kondisi yang jauh lebih serius.

Analisis perspektif sosiologis menunjukkan bahwa tindakan simbolis seperti penempatan kepala babi di masjid memiliki tujuan mempermalukan dan mendehumanisasi Muslim.

Sebanyak 68% responden Muslim Prancis dalam survei Fondation Jean-Jaurès tahun 2023 menyebut tindakan Islamofobik meninggalkan trauma psikologis jangka panjang.

Trauma ini berdampak pada menurunnya partisipasi sosial, meningkatnya isolasi komunitas, serta memperkuat rasa “otherness” di tengah masyarakat mayoritas.

Evaluasi atas respon pemerintah memperlihatkan ambivalensi. Presiden Emmanuel Macron sebelumnya berulang kali menekankan pentingnya “laïcité” atau sekularisme.

Namun kebijakan yang muncul justru sering kali ditafsirkan diskriminatif terhadap ekspresi keagamaan Muslim, misalnya larangan jilbab di sekolah dan ruang publik tertentu.

Meskipun pemerintah telah meningkatkan patroli keamanan di sekitar masjid pasca insiden September 2025, langkah ini dianggap hanya bersifat sementara tanpa menyentuh akar masalah yang bersumber dari narasi politik dan media.

Persentase data diskriminasi juga sejalan dengan tren meningkatnya ujaran kebencian daring. Laporan European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) menunjukkan 59% ujaran kebencian terhadap Muslim di Prancis disebarkan melalui media sosial, yang kemudian memperkuat stereotip negatif di ruang nyata.

Evaluasi terhadap strategi pemerintah dalam mengatasi isu digital ini masih minim, padahal peredaran ujaran kebencian di media sosial terbukti menjadi pemicu eskalasi serangan simbolis seperti yang baru terjadi.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah peningkatan Islamofobia di Prancis tidak dapat dipandang sekadar sebagai insiden individual, melainkan cerminan dari persoalan struktural yang menyangkut politik identitas, sekularisme, dan kegagalan kebijakan integrasi sosial.

Pemerintah perlu lebih serius menanggapi laporan diskriminasi, bukan hanya dengan langkah keamanan jangka pendek, tetapi juga kebijakan pendidikan, dialog antaragama, dan regulasi tegas terhadap ujaran kebencian daring.

Hematnya, komunitas Muslim Prancis menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan identitas sekaligus berintegrasi di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi.

Upaya menghadapi Islamofobia harus menekankan aspek keadilan sosial, perlindungan hukum yang setara, dan rekonstruksi narasi publik yang lebih inklusif.

Tanpa itu, insiden seperti kepala babi di masjid hanya akan menjadi tanda awal dari krisis sosial yang lebih dalam. (Red)

*) Nashrul Mu’minin, pengkaji studi agama, tinggal di Yogyakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like