Serpihan Harapan untuk Palestina, Refleksi Hasil Sidang PBB

(Ilustrasi/ gambar: Vector Stock)

Oleh: Badat Alauddin*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setelah lebih dari tiga dekade sejak Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1988, pengakuan resmi dari Inggris, Australia, dan Kanada pada hari Minggu menjadi momen penting dalam sejarah diplomasi global.

Ketiga negara ini bukan sekadar pemain biasa di panggung internasional; mereka adalah bagian dari blok Barat yang selama puluhan tahun menjadi sekutu erat Israel, bahkan ketika dunia menyaksikan penderitaan rakyat Gaza yang terus berlangsung.

Pengakuan ini bukan hanya soal simbolik. Ia mencerminkan perubahan sikap moral dan politik yang mungkin didorong oleh rasa bersalah kolektif atas kegagalan menghentikan kekerasan yang telah berlangsung lama.

Selama dua tahun terakhir, serangan brutal Israel terhadap Gaza telah menewaskan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, dan menghancurkan infrastruktur dasar. Dalam konteks ini, pengakuan terhadap Palestina menjadi semacam penebusan dosa — pengakuan atas ketidakadilan historis yang selama ini diabaikan.

Secara historis, Inggris memiliki tanggung jawab khusus atas konflik ini. Deklarasi Balfour tahun 1917, yang menjanjikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis, menjadi titik awal dari rangkaian peristiwa yang berujung pada Nakba — pengusiran massal rakyat Palestina pada tahun 1948 — dan pembentukan negara Israel.

Maka, ketika Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bahwa pengakuan ini bertujuan menghidupkan kembali solusi dua negara, publik berhak bertanya: apakah ini hanya retorika politik, atau benar-benar awal dari perubahan kebijakan yang nyata?

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Israel tidak berniat membiarkan negara Palestina berdiri. Pemerintah Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara dan terus memperluas pemukiman ilegal di Tepi Barat, bahkan mencaplok wilayah tersebut secara de facto.

Dalam pernyataannya, Netanyahu menyebut pengakuan Palestina sebagai “hadiah untuk terorisme” — sebuah narasi yang menyesatkan dan mengabaikan akar konflik yang sebenarnya: penjajahan, pengusiran, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Lebih dari 140 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Namun, negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa masih menolak pengakuan tersebut.

Sikap ini tidak hanya melemahkan legitimasi perjuangan Palestina, tetapi juga memperkuat impunitas Israel dalam melakukan kekerasan terhadap warga sipil.

Pengakuan saja tidak cukup. Dunia internasional harus melangkah lebih jauh. Embargo senjata dan ekonomi terhadap Israel harus diberlakukan hingga mereka menyetujui gencatan senjata tanpa syarat dan menghentikan pembersihan etnis di Gaza.

Negara-negara Barat yang baru saja mengakui Palestina harus menunjukkan konsistensi moral dengan menekan Israel melalui jalur diplomatik dan ekonomi. Tanpa tekanan nyata, pengakuan ini akan menjadi sekadar gestur politik yang tidak berdampak.

Lebih dari itu, komunitas global harus menetapkan konsekuensi tegas jika Israel terus melanggar hukum internasional. Jika pencaplokan Tepi Barat dan pembantaian di Gaza berlanjut, maka sanksi berat — termasuk isolasi diplomatik dan pemutusan hubungan dagang — harus diberlakukan. Dunia tidak bisa lagi menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Pengakuan Palestina oleh Inggris, Australia, dan Kanada adalah langkah awal yang penting. Tapi untuk benar-benar mengubah arah sejarah, dunia harus berani bertindak. Karena tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian. (Red)

*) Badat Alauddin, Islamic International University Islamabad, Peneliti Pakistan Studies di GP Ansor Center

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like