Dari Harapan Jadi Bencana: Tragedi Program Makan Bergizi Gratis

Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis di sekolah dasar (foto: tempo.co)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dimaksudkan untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, terutama dari keluarga rentan. Namun, niat mulia ini justru berubah menjadi bencana.

Ratusan hingga ribuan siswa di Bandung Barat, Garut, Blora, hingga daerah lain mengalami keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut. Tragedi ini menuntut refleksi kritis: apa yang salah dalam desain dan implementasi kebijakan publik kita?

Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan

Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, kasus ini menunjukkan kegagalan dalam rantai keamanan pangan.

Gejala mual, muntah, hingga kejang adalah tanda kontaminasi serius. Dugaan daging ayam asam menegaskan lemahnya sistem quality control sejak hulu.

Standar internasional seperti Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) semestinya menjadi acuan. Namun, pengawasan berjalan reaktif, bukan preventif.

Padahal, prinsip dasar kesehatan masyarakat adalah pencegahan, bukan penanganan setelah korban berjatuhan.

Administrasi Publik dan Budaya Birokrasi

Dari kacamata administrasi publik, MBG mencerminkan kesenjangan antara kebijakan dan kapasitas birokrasi. Target distribusi dikejar cepat, tetapi infrastruktur dan SDM lapangan tidak siap.

Hasilnya, pemerintah hanya mengejar output (berapa porsi tersalurkan) alih-alih outcome (apakah anak-anak sehat dan aman).

Lebih ironis lagi, beredar informasi adanya “surat perjanjian merahasiakan kasus.” Jika benar, ini adalah kemunduran serius dalam akuntabilitas. Alih-alih terbuka, birokrasi justru defensif.

Padahal, dalam tata kelola modern, transparansi adalah syarat mutlak legitimasi kebijakan.

Politik Populis dan Kebijakan yang Tergesa

Program MBG tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik. Distribusi masif dan cepat seolah menunjukkan kepedulian negara, namun berisiko menjadi populisme kebijakan.

Kebijakan publik yang didesain demi pencitraan sering kali mengorbankan aspek teknis dan keselamatan warga.

Inilah yang dalam literatur kebijakan disebut policy failure: kegagalan bukan karena idenya keliru, melainkan karena implementasi yang tergesa dan politisasi berlebihan.

Etika dan Hak Anak

Tragedi MBG juga menyangkut hak anak atas kesehatan dan perlindungan. Anak-anak adalah kelompok paling rentan; mereka tidak bisa menolak makanan yang disediakan. Ketika kebijakan membuat mereka sakit, negara gagal menjalankan mandat moralnya.

Etika kebijakan menuntut bahwa keselamatan anak harus lebih penting daripada efektivitas distribusi atau kepentingan politik. Pertanyaannya sederhana: apa arti program gizi jika yang dikirimkan justru racun bagi generasi masa depan?

Jalan Perbaikan

Agar tragedi tidak terulang, sejumlah langkah mendesak diperlukan:
1. Audit Independen – Libatkan perguruan tinggi, profesi kesehatan, dan auditor eksternal.
2. Standarisasi Dapur & Vendor – Semua penyedia wajib tersertifikasi keamanan pangan.
3. Pengawasan Titik Kritis – Mulai dari bahan baku, penyimpanan, distribusi, hingga penyajian.
4. Transparansi Publik – Data asal bahan, vendor, hingga hasil uji lab harus dibuka.
5. Peningkatan Kapasitas SDM – Petugas lapangan perlu pelatihan keamanan pangan berkelanjutan.
6. Redesain Kebijakan – Jika infrastruktur belum siap, sebaiknya program dijalankan terbatas dan bertahap.

Penutup: Belajar dari Tragedi

Program MBG adalah niat baik yang berubah menjadi bencana karena lemahnya sistem, politisasi, dan minimnya transparansi. Tragedi keracunan massal ini adalah alarm keras bahwa kebijakan publik tidak boleh dijalankan secara tergesa hanya demi pencitraan.

Jika pemerintah serius ingin mewujudkan keadilan gizi, keselamatan anak-anak harus menjadi prioritas mutlak. Kebijakan publik bukan diukur dari seberapa cepat diumumkan, tetapi dari seberapa aman dan bermanfaat bagi rakyat yang dilayani. (Red)

Penulis: Yohanes Soares, aktivis sosial dan peneliti kebijakan pendidikan dan masyarakat daerah tertinggal

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like