
Oleh: Siti Nurhamidah*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Enam puluh tahun kurang satu adalah rentang waktu yang panjang bagi sebuah organisasi kader perempuan dalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam.
Kohati lahir dari rahim sejarah perjuangan, saat perempuan muslim mahasiswa merasa perlu memiliki wadah khusus untuk menguatkan kapasitasnya, menegaskan identitasnya, dan mengartikulasikan perannya.
Namun, dalam momentum Milad ke-59 ini, pertanyaan mendasar patut diajukan: apakah Kohati hari ini hanya terjebak pada romantisme sejarah, ataukah benar-benar menjelma menjadi motor aksi nyata di tengah krisis sosial yang melanda bangsa?
Romantisme sejarah memang penting. Kita perlu menengok masa lalu agar tidak kehilangan arah dan identitas. Tetapi sejarah hanya akan menjadi nostalgia kosong jika tidak dihidupkan dalam praksis kekinian.
Kohati sering kali merayakan jejak-jejak perjuangan pendahulu, namun refleksi kritis menuntut kita untuk jujur: sejauh mana kiprah kader Kohati benar-benar dirasakan manfaatnya oleh umat, bangsa, dan perempuan Indonesia?
Kita hidup di tengah krisis sosial yang multidimensi. Perempuan masih menjadi kelompok rentan dalam kasus kekerasan domestik, diskriminasi kerja, hingga keterbatasan akses pendidikan.
Di level bangsa, korupsi, krisis moral, dan kesenjangan sosial terus menganga. Bahkan di tubuh organisasi sendiri, kader sering terjebak pada rutinitas formalistik tanpa keberanian untuk melahirkan gagasan segar.
Dalam situasi demikian, Kohati tidak boleh puas hanya menjadi simbol keperempuanan dalam HMI, tetapi harus tampil sebagai kekuatan transformasi.
Kohati dituntut untuk melampaui wacana, beranjak dari diskursus menuju gerakan. Ini berarti kader Kohati harus hadir di ruang-ruang nyata: mengadvokasi isu perempuan di kampus dan masyarakat, melawan budaya diam terhadap kekerasan, serta terlibat aktif dalam menyuarakan keadilan sosial.
Identitas keperempuanan dalam perspektif Islam harus diterjemahkan menjadi strategi praksis yang membebaskan, bukan sekadar jargon.
Milad ke-59 harus dimaknai sebagai titik balik. Bahwa Kohati tidak boleh sekadar merawat romantisme sejarah, melainkan harus memproduksi aksi nyata yang kontekstual dengan zaman.
Jika generasi awal Kohati mampu merumuskan cita-cita besar di tengah keterbatasan, maka generasi kini justru memiliki modal lebih besar: akses informasi, jejaring global, dan ruang digital yang luas.
Pertanyaannya, apakah kita berani menggunakan modal itu untuk memperkuat peran Kohati sebagai penggerak perubahan?
Refleksi ini pada akhirnya mengingatkan kita bahwa usia tidak otomatis menjamin kedewasaan organisasi. Kedewasaan Kohati hanya akan terlihat ketika kader-kadernya mampu menjawab krisis sosial dengan gagasan segar dan tindakan nyata.
Dari ruang kelas hingga gelanggang masyarakat, dari ranah intelektual hingga pengabdian sosial, Kohati harus terus membuktikan diri sebagai rumah kader perempuan pejuang, bukan sekadar penjaga romantisme sejarah. (Red)
*) Siti Nurhamidah, Bendahara Umum Kohati Cabang Palu