
Oleh: Nashrul Mu’minin*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dalam beberapa bulan terakhir, dinamika politik dan ekonomi Indonesia memperlihatkan pola yang mengarah pada konsolidasi kekuasaan eksekutif di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dari rencana perubahan mandat Bank Indonesia, penunjukan pejabat militer di kabinet, hingga putusan Mahkamah Konstitusi terkait perluasan peran TNI, semua langkah ini berkelindan dengan kebijakan moneter dan fiskal yang lebih agresif.
Menurut saya, pertanyaan publik mendasar yang harus dijawab adalah: apakah langkah-langkah ini akan membawa Indonesia pada keseimbangan antara stabilitas, pertumbuhan, dan demokrasi, atau justru menggeser prioritas menuju kontrol politik yang lebih ketat?
Pemerintah tengah mempertimbangkan memperluas mandat Bank Indonesia (BI) agar tidak hanya menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, melainkan juga secara eksplisit mendorong pertumbuhan ekonomi (Financial Times, September 2025).
Jika benar diterapkan, hal ini akan mengubah desain independensi BI yang sejak krisis 1997–1998 dijaga ketat agar tidak mudah diintervensi kepentingan politik jangka pendek.
Saya khawatir, meski tujuan pertumbuhan penting, pengaburan batas independensi bank sentral dapat memicu risiko inflasi jangka panjang, terutama jika kebijakan moneter dipaksa selaras dengan agenda politik.
Penunjukan Jenderal Purnawirawan Djamari Chaniago sebagai Menko Polhukam oleh Presiden Prabowo (AP News, September 2025) semakin menegaskan orientasi stabilitas politik-keamanan pasca demonstrasi besar yang menelan korban.
Dengan latar belakang militer, pilihan ini jelas memperkuat peran aparat keamanan dalam mengelola dinamika sipil. Namun, saya melihat langkah ini juga mengirim sinyal bahwa pemerintah lebih mengutamakan stabilitas jangka pendek dibanding mengakomodasi aspirasi sipil yang menuntut ruang demokrasi lebih besar.
Dalam waktu bersamaan, Mahkamah Konstitusi dijadwalkan memutus lima petisi terkait perluasan peran militer di ranah sipil (Reuters, September 2025).
Amandemen undang-undang yang melandasinya dianggap melewati proses konsultasi publik yang minim, memicu kritik serius dari kelompok pro-demokrasi. Jika MK mengukuhkan peran tambahan TNI, batas sipil-militer dalam sistem demokrasi Indonesia akan semakin kabur.
Padahal, menurut data KontraS, sepanjang 2024 terdapat 67 kasus pelibatan aparat militer dalam urusan non-pertahanan yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia¹.
Dari sisi ekonomi, Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga acuan ke level 4,75% (Reuters, September 2025). Langkah ini dilakukan bersamaan dengan paket stimulus Rp16,23 triliun, termasuk program bantuan pangan dan insentif UMKM.
Data BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 hanya sebesar 4,9% (BPS, Agustus 2025), lebih rendah dari target pemerintah 5,3%. Artinya, pemerintah tengah berjudi dengan strategi ekspansi moneter-fiskal sekaligus, berharap bisa mengangkat daya beli masyarakat di tengah tekanan global.
Menurut saya, keterkaitan antara isu politik-keamanan dan kebijakan ekonomi sangat jelas. Independensi BI yang terancam, peran militer yang diperluas, hingga stimulus fiskal jumbo, semuanya berpotensi menjadikan negara lebih terpusat dalam pengambilan keputusan.
Di satu sisi, pendekatan ini bisa efektif dalam menghadapi krisis. Namun di sisi lain, sentralisasi berlebihan akan mengikis mekanisme check and balance yang menjadi fondasi demokrasi pasca-Reformasi.
Kita belajar dari sejarah: ketika stabilitas didefinisikan secara sempit sebagai kontrol politik dan pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan intervensi terhadap lembaga independen, risiko terbesar adalah hilangnya ruang kebebasan sipil.
Angka pertumbuhan 6–7% yang dijanjikan hanya akan bermakna jika dicapai dengan tetap menghormati independensi lembaga dan hak-hak warga. Sebaliknya, jika demokrasi dikorbankan, stabilitas itu hanya bersifat semu.
Menurut saya, kesimpulannya jelas: Indonesia berada di persimpangan jalan. Opsi pertama adalah menempuh jalan keseimbangan—menguatkan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan independensi BI dan supremasi sipil atas militer.
Opsi kedua adalah jalan pragmatis yang mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan jangka pendek dengan risiko erosi demokrasi. Pilihan ini bukan sekadar teknis, melainkan arah sejarah bangsa.
Jika pemerintah memilih konsolidasi kekuasaan tanpa kontrol, maka rakyatlah yang akan membayar harga tertinggi dalam jangka panjang. (Red)
*) Nashrul Mu’minin, Content Writer Yogyakarta