
Oleh: Naila Rif’atuttahiyyah*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Arus informasi di era digital seperti saat ini dapat tersebar dalam hitungan detik. Mahasiswa dan generasi muda memiliki akses yang hampir tak terbatas ke berita, opini, dan diskusi publik.
Di satu sisi, hal ini membuka peluang besar untuk menumbuhkan kesadaran kritis dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Namun, di sisi lain, arus informasi yang cepat juga menimbulkan risiko salah paham, misinformasi, atau tindakan emosional yang kurang terkontrol.
Fenomena demonstrasi mahasiswa baru-baru ini, termasuk aksi yang menuntut perubahan struktural di pemerintahan, menunjukkan bahwa banyak mahasiswa peduli terhadap kondisi bangsa.
Semangat untuk menyuarakan aspirasi sangat penting, namun belum selalu disertai cara penyampaian yang tepat.
Pancasila Sebagai Pedoman Moral di Perguruan Tinggi
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi memegang peranan penting, bukan hanya sebagai mata kuliah formal, tetapi sebagai pedoman moral dan etika yang membimbing mahasiswa dalam kehidupan nyata maupun di dunia digital.
Pancasila bukan sekadar teks yang dihafalkan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya—kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan, dan keadilan sosial—seharusnya menjadi dasar dalam bersikap, berinteraksi, dan menyampaikan pendapat.
Dalam konteks demonstrasi atau partisipasi publik, pemahaman nilai-nilai ini memungkinkan mahasiswa menyalurkan energi kritis secara konstruktif, menjaga martabat diri dan orang lain, serta tetap berpijak pada kepentingan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab menekankan pentingnya menghormati hak orang lain saat menyampaikan pendapat.
Persatuan Indonesia mengingatkan bahwa aspirasi individu tidak boleh merusak ikatan sosial atau memecah belah masyarakat.
Kerakyatan menegaskan bahwa suara penting, tetapi sebaiknya disalurkan melalui dialog dan musyawarah. Keadilan sosial mendorong agar setiap kritik atau tuntutan berpihak pada kebaikan bersama, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok kecil.
Strategi Menginternalisasi Pancasila di Kampus
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi dapat diwujudkan melalui berbagai cara. Integrasi nilai-nilai Pancasila ke dalam kurikulum memungkinkan mahasiswa melihat relevansi prinsip tersebut dalam bidang ilmu yang dipelajari.
Kegiatan ekstrakurikuler, seperti debat, diskusi publik, atau kegiatan sosial berbasis Pancasila, membantu mahasiswa membiasakan diri dengan nilai-nilai moral secara nyata.
Pembinaan karakter melalui mentoring atau konseling memberi ruang untuk merenungkan dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah membedakan antara kritik yang sehat dan kritik yang bersifat emosional atau provokatif. Media sosial memungkinkan pesan tersebar dengan cepat, tetapi seringkali tanpa filter yang tepat.
Mahasiswa yang tidak dibekali pemahaman moral berisiko ikut menyebarkan informasi atau narasi yang salah, meskipun niat awalnya baik. Nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman moral untuk berpikir lebih jauh sebelum bertindak atau membagikan sesuatu di dunia maya.
Pendidikan Pancasila juga penting untuk membentuk mahasiswa menjadi agen perubahan yang tidak hanya reaktif terhadap isu-isu yang viral, tetapi juga proaktif dalam mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Hal ini bukan sekadar soal menghafal sila, tetapi tentang internalisasi nilai-nilai tersebut sehingga menjadi bagian dari cara berpikir dan bertindak sehari-hari.
Dengan pemahaman yang matang, aspirasi publik dapat disampaikan secara kritis, tetapi tetap menghargai martabat orang lain dan menjaga ketertiban sosial.
Pancasila: Fondasi Karakter di Era Digital
Fenomena demonstrasi dan partisipasi publik di era digital menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Kekuatan ini sebaiknya disertai tanggung jawab.
Tanpa pedoman moral, aspirasi yang seharusnya membangun bisa berubah menjadi tindakan kontraproduktif.
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi membekali mahasiswa dengan pemahaman dan keterampilan untuk menyampaikan pendapat secara etis dan efektif, menjaga kepentingan bersama, serta menghargai hak dan martabat orang lain.
Selain itu, di era digital, mahasiswa juga dihadapkan pada arus informasi yang sangat luas, termasuk berita bohong atau hoaks. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2023, tercatat lebih dari 12.500 konten hoaks yang tersebar di internet.
Situasi ini menunjukkan perlunya mahasiswa mampu memilah informasi secara kritis dan bertindak sesuai prinsip etika. Pendidikan Pancasila, dengan penekanan pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial, membantu mahasiswa menjaga integritas dalam menyikapi informasi.
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi bukan sekadar mata kuliah wajib, tetapi fondasi untuk membentuk karakter mahasiswa. Di era digital yang serba cepat dan penuh tantangan informasi, mahasiswa dituntut tidak hanya cerdas dalam mengakses informasi, tetapi juga bijak dalam menyikapinya.
Nilai-nilai Pancasila, bila dipahami dan dipraktikkan dengan baik, dapat membantu mahasiswa menjadi individu yang kritis, berani menyuarakan pendapat, namun tetap beretika dan menjaga kepentingan bersama.
Pancasila merupakan pedoman hidup yang relevan untuk menghadapi kompleksitas dunia digital. Nilai-nilai ini membimbing interaksi di dunia maya, mengarahkan perilaku dalam organisasi dan kegiatan sosial, serta menjadi dasar dalam menyampaikan aspirasi publik.
Pendidikan Pancasila, oleh karena itu, menjadi sangat penting dan tidak bisa dianggap formalitas semata. Dengan pendidikan yang efektif, mahasiswa dapat menyalurkan energi kritisnya secara konstruktif, membangun masyarakat yang lebih adil, beradab, dan berintegritas. (Red)
*) Naila Rif’atuttahiyyah, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNY