
Oleh: Ali Achmadi*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Perut adalah organ yang jujur. Begitu isinya kosong, ia langsung menjerit, merengek, bahkan bisa bikin kepala pusing tujuh keliling. Kita pun segera tahu: saatnya makan.
Namun sayangnya, otak tidak sepolos itu. Ia bisa kosong melompong, tapi tetap diam membisu, seolah-olah baik-baik saja.
Mungkin itu sebabnya banyak orang yang jalannya gagah, bajunya rapi, gadget-nya terbaru, tapi isi kepalanya sudah kadaluarsa.
Perut pejabat kita sering terlihat aman: buncit, makmur, bahkan kadang lebih cepat membesar daripada utang negara yang ditanggung rakyatnya. Perut mereka jujur sekali, selalu tampak penuh. Tapi otak? Nah, itu lain cerita.
Otak tidak pernah memberi alarm ketika kosong. Akibatnya, kita menyaksikan kebijakan aneh lahir tiap minggu.
Pajak naik tanpa alasan jelas, utang menumpuk dilabeli “investasi masa depan, dan anggaran habis entah ke mana tapi disebut demi rakyat. Kalau saja otak bisa bunyi “krucuk-krucuk”, mungkin rapat DPR tidak akan sepanjang itu.
Baru lima menit, sudah terdengar “kosong, kosong, kosong” dari setengah ruangan. Perut pejabat bisa diisi nasi kotak saat rapat, tapi otak kosong mereka tidak pernah ada yang berani menegur.
Padahal dampaknya jauh lebih berbahaya: rakyat jadi korban. Bayangkan, orang yang perutnya kosong hanya mengeluh lapar, tapi orang yang otaknya kosong bisa mengeluarkan kebijakan yang bikin berjuta-juta perut lapar.
Bayangkan kalau otak bisa protes seperti perut. Mungkin di ruang rapat kita akan mendengar bunyi “dug dug dug” dari kepala atasan saat ia salah strategi.
Atau di ruang kelas, siswa yang mencontek akan ketahuan karena kepalanya bergetar keras, tanda “low battery”.
Media sosial pun akan lebih tenang, karena begitu ada yang asal berkomentar, kepalanya langsung berbunyi seperti alarm kebakaran: “Kosong! Kosong! Kosong!” Tapi yang ada justru percaya diri berlebihan, sok tahu, dan merasa paling pintar dalam setiap forum.
Sayangnya, dunia tidak sesempurna itu. Kita hidup di zaman di mana perut kenyang bisa menutupi otak yang lapar. Di mana gelar akademik dianggap jaminan bahwa otak penuh, padahal bisa saja yang penuh hanyalah lembaran ijazah.
Maka berhati-hatilah. Perut memang mudah ditipu dengan mie instan, tapi otak butuh lebih dari sekadar “sekolah instan yang sebulan hanya masuk sekali atau informasi instan dari TikTok, gosip warung kopi, atau thread konspirasi. Sebab kalau perut kosong hanya bikin lapar, tapi otak kosong bisa bikin bangsa tersesat.
Mungkin sudah waktunya kita menciptakan teknologi baru: Brain Detector. Alat yang bisa berbunyi saat seseorang bicara tanpa isi.
Bayangkan jika dipasang di gedung DPR atau kantor kementerian, suara alarmnya bisa menyaingi konser musik.
Sampai hari itu tiba, kita hanya bisa berharap: semoga para pemimpin negeri ini sadar, bahwa otak yang kosong jauh lebih berbahaya daripada perut yang lapar. (Red)
Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati