
Oleh: M. Habibi*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Gelombang demonstrasi yang merambat dari Jakarta hingga delapan kota besar lain seolah mengabarkan satu hal: ketidakpuasan publik sudah sampai titik didih.
Di ibu kota, tiga titik aksi dalam sehari membuat lalu lintas lumpuh. Dari mahasiswa hingga buruh, dari dosen hingga pedagang kecil, mereka menyatukan suara di bawah satu payung tuntutan: kebijakan pemerintah semakin menjauh dari rakyat.
Tagar #IndonesiaGelap mendadak viral, jadi metafora generasi muda yang kehilangan optimisme di tengah ekonomi yang tersendat. Sementara pertumbuhan 4,8 persen dalam sembilan bulan pertama pemerintahan Prabowo–Gibran tampak jauh dari target 8 persen.
Berdasarkan hasil survei LSI Denny JA, tercatat lebih dari 60 persen warga mengaku lebih sulit mencari kerja dibanding tahun lalu.
Problem lainnya, badai eksternal menambah beban. Tarif impor 32 persen dari Amerika Serikat untuk produk ekspor Indonesia berpotensi menyapu 1,2 juta lapangan kerja dan menggerus ekspor senilai Rp105 triliun. Rupiah pun melemah ke Rp16.500 per dolar, terendah dalam sebulan. Indeks saham jatuh, investor panik.
Reshuffle Bukan Sekadar Simbol
Di tengah krisis itu, isu reshuffle kabinet harus dipahami secara serius dan tidak bisa dipahami sebagai reaksi spontan terhadap demo jalanan yang berhari-hari. Langkah ini adalah hasil assessment intelijen yang membaca risiko kerentanan nasional.
Sejarah mencatat, lembaga intelijen sejak Orde Baru kerap menjadi instrumen penguasa dalam membaca peta krisis.
Kini, data intelijen menunjukkan ketidakpuasan publik bukan semata soal PPN 12 persen atau kelangkaan elpiji 3 kilogram. Lebih dalam, publik menilai ada kegagalan kolektif kabinet dalam mengelola ekonomi.
Langkah Presiden menunjuk akademisi murni seperti Brian Yuliarto ke kursi Menteri Pendidikan beberapa waktu lalu, dianggap sinyal peredam. Pesan yang ingin ditegaskan: pemerintah mendengar aspirasi publik, sekaligus menenangkan pasar.
Tapi masalah terbesar justru ada di sektor ekonomi. Survei Celios pada Januari 2025 menunjukkan, meski Menteri Pendidikan Satryo bukan yang terburuk, tapi performa Menko Perekonomian Airlangga Hartartolah yang dinilai gagal memenuhi target.
Meminjam Bhima Yudhistira (Celios), kegagalan diplomasi ekonomi dengan AS menjadi bukti lemahnya strategi. Yang ada justru, Indonesia kalah jauh dari Vietnam. Hal ini karena pendekatan yang dilakukan cenderung bersifat reaktif.
Empat Jalan Keluar
Kerusakan pasca-demo juga menambah luka bagi bangsa ini. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, misalnya, menghitung kerugian Rp55 miliar hanya untuk infrastruktur kota. Ritel anjlok, rantai pasok terganggu.
Maka, sejumlah pengamat menekankan bahwa reshuffle hanya berarti jika dibarengi empat langkah strategis. Pertama, menunjuk begawan ekonomi, dengan kredibilitas global dan keberpihakan pada rakyat kecil. Kedua, reformasi kebijakan proteksionis agar daya saing Indonesia kembali terjaga di tengah geopolitik dagang.
Ketiga, melakukan koordinasi lintas kementerian, di bawah Menko Perekonomian yang efektif, bukan sekadar simbol. Dan keempat, transparansi komunikasi publik agar kebijakan tak lagi memicu kegaduhan.
Harvick Hasnul Qolbi, Figur Alternatif
Satu nama yang mencuat adalah Harvick Hasnul Qolbi. Lahir di Jakarta, 17 November 1974, Harvick dikenal sebagai tokoh NU dengan akar kuat di ekonomi kerakyatan. Dari membangun Mart NU hingga menggagas Nahdlatut Tujjar, ia dianggap mampu menjembatani dunia industri modern dengan ekonomi berbasis komunitas.
Latar belakangnya di teknik industri serta pengalaman sebagai Wakil Menteri Pertanian menunjukkan kapasitas manajerial sekaligus pemahaman riil soal perdesaan. Bagi kalangan NU, Harvick adalah simbol regenerasi ekonomi yang berakar pada rakyat kecil, tapi tetap berpandangan global.
Reshuffle kabinet kali ini akan menjadi ujian kepemimpinan Presiden Prabowo. Masyarakat menunggu, apakah reshuffle hanya kosmetik politik, atau menjadi awal restrukturisasi besar-besaran.
Sejarah sudah membuktikan, Indonesia hanya bisa keluar dari krisis dengan kepemimpinan kuat, keberanian mengambil risiko, dan keberpihakan nyata pada rakyat.
Harvick hanyalah satu contoh figur yang bisa dipertimbangkan. Intinya jelas: Presiden membutuhkan begawan ekonomi, bukan sekadar loyalis politik.
Dalam situasi seperti ini, reshuffle bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Dan publik menanti, apakah Prabowo berani mengambil langkah strategis untuk membawa Indonesia keluar dari kegelapan menuju cahaya kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan. (Red)
*) M. Habibi, Pengamat Intelijen dan Politik