Konsolidasi BPR BKK se-Jateng dan Nilai Strategis

Dr. Yanuar Rachmansyah, akademisi dan pemerhati dinamika sosial, ekonomi, politik; tinggal di Semarang

Oleh: Dr. Yanuar Rachmansyah*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Rencana Konsolidasi 33 Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjadi satu entitas tunggal bukan sekadar wacana administratif.

Ia adalah keniscayaan yang lahir dari tuntutan regulasi, kebutuhan penguatan kelembagaan, serta upaya memperkuat daya saing BUMD sektor keuangan di era persaingan yang semakin ketat.

Langkah ini mendapat dukungan penuh dari eksekutif dan legislatif Jawa Tengah. Konsolidasi adalah jalan terbaik untuk menghadirkan BUMD yang sehat dan modern, dan sebagai keputusan rasional dan berani untuk melindungi kepentingan ekonomi rakyat.

Bahkan, konsolidasi ini sesungguhnya berangkat dari hak inisiatif DPRD, yang memang membidangi urusan keuangan dan pendapatan. Peran DPRD, sangat strategis karena mereka melihat langsung kebutuhan penguatan BUMD sektor keuangan agar tidak tertinggal oleh dinamika industri perbankan nasional.

Masyarakat pun menaruh harapan besar pada konsolidasi ini. Pedagang pasar berharap bunga kredit lebih terjangkau, pelaku UMKM menanti kemudahan akses modal kerja, sementara petani desa menginginkan adanya akses pembiayaan yang lebih cepat untuk mendukung musim tanam.

Publik percaya, penggabungan 33 BPR BKK se-Jateng menjadi satu bank daerah yang kuat bukan hanya akan memperluas layanan, tetapi juga memberi rasa aman bahwa dana mereka dikelola lebih professional dan mendapat dukungan danperlindungan dari pemerintah.

Harapan ini sejalan dengan visi pemerintah daerah untuk menjadikan BPR BKK hasil konsolidasi sebagai garda terdepan pelayanan keuangan rakyat kecil, bukan sekadar pemain pinggiran di industri perbankan. Kontribusi mereka pada masayarakat dan UMKM sangat signifikan.

Merujuk kepada aspek legalitasnya, maka dasar hukum untuk konsolidasi ini sangat jelas. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mengubah nomenklatur Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat dan memberi waktu dua tahun untuk menyesuaikan.

Dan yang lebih lebih tegas lagi adalah POJK nomor 7 Tahun 2024 tentang BPR dan BPRS mewajibkan seluruh BPR milik pemerintah daerah yang berada di bawah pemegang saham pengendali yang sama untuk melakukan penggabungan atau peleburan paling lambat tiga tahun sejak aturan berlaku. Inilah regulasi yang menegaskan bahwa konsolidasi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban hukum yang tak bisa ditunda.

Aturan ini juga sejalan dengan semangat Single Presence Policy yang sejak awal dicanangkan OJK: satu pengendali hanya boleh memiliki satu bank sejenis. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak mungkin lagi mempertahankan kepemilikan 33 BPR BKK secara terpisah, melainkan harus meleburkannya menjadi satu entitas.

Untuk diketahui, regulasi ini menegaskan bahwa rencana konsolidasi bukan sekadar pilihan rasional, melainkan kewajiban hukum sekaligus bentuk penegakan kebijakan tata kelola kepemilikan bank yang sehat.

Secara kinerja keuangan, perjalanan PT. BPR BKK se-Jateng beberapa tahun terakhir penuh dinamika. Namun dengan strategi mitigasi yang disiplin, termasuk penguatan manajemen risiko dan penyesuaian sistem inti perbankan, kinerja keuangan mencatatkan laba yang sangat positif.

Hal ini menunjukkan ketahanan kelembagaan sekaligus kemampuan manajemen untuk beradaptasi terhadap perubahan regulasi dan standar akuntansi yang lebih ketat. Konsolidasi akan memperbesar daya tahan ini, karena dengan skala yang lebih besar, fluktuasi kinerja dapat dikelola lebih stabil dan sehat.

Termasuk dari sisi produk, PT. BPR BKK se-Jateng juga tidak tinggal diam. Diversifikasi kredit menjadi salah satu strategi penting. Di samping itu, inovasi digital juga terus digulirkan, mulai dari layanan mobile banking, payment point, hingga integrasi sistem pembayaran berbasis QRIS.

Upaya ini membuktikan bahwa BPR BKK telah bertransformasi dari sekadar bank konvensional di tingkat kecamatan menjadi institusi keuangan yang adaptif terhadap digitalisasi.

Namun prospek cerah ini tidak menutup mata terhadap tantangan yang ada. Harmonisasi budaya organisasi dari 33 BPR BKK se-Jateng berbeda tentu tidak mudah, begitu pula dengan seleksi pimpinan dan pejabat eksekutif yang harus transparan agar tidak menimbulkan tarik-menarik kepentingan.

Pengelolaan aset, termasuk kredit bermasalah, memerlukan strategi matang agar tidak membebani entitas baru. Kepatuhan regulasi syariah juga menjadi tantangan jika transformasi ke arah bank syariah benar-benar diwujudkan.

Sementara itu, persaingan dari bank umum, fintech, dan koperasi simpan pinjam tetap akan hadir, sehingga inovasi produk dan efisiensi operasional harus menjadi budaya baru di BPR hasil konsolidasi.

Meski demikian, nilai strategis konsolidasi ini sangat signifikan. Skala ekonomi yang lebih besar akan menekan biaya operasional, sementara modal inti yang lebih kuat akan meningkatkan kesehatan bank dan membuka peluang ekspansi kredit yang lebih luas.

Kepercayaan publik pun akan meningkat karena masyarakat lebih yakin menyimpan dana di satu bank daerah besar dibanding di banyak BPR kecil dengan risiko beragam.

Potensi transformasi ke arah syariah memperkuat posisi BPR BKK Jawa Tengah di tengah meningkatnya kebutuhan layanan keuangan berbasis syariah.

Dan tentu saja, kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah akan semakin besar, sehingga manfaat konsolidasi tidak hanya dirasakan oleh nasabah, tetapi juga oleh pembangunan daerah secara keseluruhan.

Dengan demikian,rencana konsolidasi 33 BPR BKK se-Jateng menjadi PT BPR BKK (Perseroda) atau apapun namanya nanti bukan sekadar agenda administratif, melainkan langkah strategis menata ulang wajah BUMD sektor keuangan agar relevan dengan dinamika zaman.

Publik menaruh harapan besar: pedagang pasar mendambakan kredit ringan, UMKM menanti modal kerja, petani menginginkan pembiayaan musim tanam, dan masyarakat desa berharap akses layanan keuangan yang lebih dekat.

Dengan dukungan politik dari DPRD yang menginisiasi, komitmen eksekutif, serta kepastian regulasi dari UU P2SK dan POJK 7/2024, konsolidasi ini berpotensi melahirkan bank rakyat daerah yang tangguh, adaptif, dan inklusif.

Namun, keberhasilan sejatinya ditentukan oleh implementasi: bagaimana konsolidasi dijalankan dengan mulus, bagaimana SDM dikelola secara adil dan profesional, serta bagaimana orientasi pelayanan kepada rakyat tetap dijaga sebagai roh utama.

Karena pada akhirnya, BPR BKK yang bertransformasi harus terus menjadi instrumen menyejahterakan masyarakat Jawa Tengah, bukan sekadar mesin laba. Semoga. (Red)

*) Dr. Yanuar Rachmansyah, Dosen Magister Manajemen Universitas BPD, Konsultan Keuangan

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like