Menyoal Koleksi Pernyataan ‘Nyelekit ala Elite’

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di negeri ini, kita tidak kekurangan orang pintar. Yang kita kekurangan adalah pemimpin dan pejabat yang bisa berbicara dengan hati.

Kalau soal koleksi pernyataan, pejabat kita lebih mirip tukang lawak ludruk—bedanya, kalau tukang lawak dibayar buat bikin suasana cair, pejabat dibayar mahal justru malah bikin rakyat nyesel sudah bayar pajak.

Menteri Kesehatan, misalnya. Ia pernah bilang, orang yang gajinya 15 juta lebih sehat dan lebih pintar daripada yang gajinya 5 juta. Kalimat yang terdengar logis—kalau hanya dilihat dari sisi statistik.

Tapi terasa menampar. Karena jutaan orang Indonesia bekerja dari pagi hingga larut malam, dan tetap hidup di angka UMR. Apakah mereka bodoh? Atau justru sistem yang gagal memberi jalan naik kelas?

Ada juga Nusron Wahid. Ia bilang, tanah nganggur bisa dikuasai negara. “Emangnya mbahmu bisa bikin tanah?” katanya. Kalimat ini mungkin dimaksudkan tegas, tapi rasanya lebih mirip ancaman debt collector ketimbang ucapan pejabat.

Menjadi sangat kasar ketika menyentuh rakyat kecil. Apalagi ketika rakyat masih melihat jutaan hektar sawit, atau laut yang dipagar dan diurug, tidak pernah tersentuh oleh kalimat seperti itu.

Sri Mulyani, yang katanya menteri keuangan kelas dunia, juga punya kalimat yang akan terus diingat: guru adalah beban negara. Betul, mungkin dalam kerangka APBN, guru adalah pos besar. Tapi menyebut guru sebagai “beban”, terdengar ironis.

Guru adalah orang yang mencetak masa depan. Sementara pejabat, yang gaji dan fasilitasnya jauh lebih besar daripada guru, segala tetek bengek hidupnya dibiayai negara, sampai napasnya pun ditanggung negara, kok nggak pernah disebut beban? Padahal merekalah beban termahal yang pernah dimiliki republik ini.

Ada lagi Ahmad Syahroni. Wakil rakyat—tapi entah rakyat yang mana— dengan enteng bilang: orang yang demo minta DPR dibubarkan adalah orang paling tolol sedunia.

Padahal, DPR ada karena rakyat memilih. Kalau rakyat yang memilih itu “tolol”, maka kualitas hasil pilihannya seperti apa? Bukankah itu artinya DPR sendiri sedang bercermin?

Di tingkat lokal, kita punya Bupati Pati, Sudewo. Ia bilang, kalau rakyat tidak setuju dengan kenaikan PBB 250 persen, silakan demo.

“Jangankan lima ribu, lima puluh ribu pun saya tidak gentar.” Wah, mantap jiwa. Kayak jagoan film koboi. Bedanya, kalau di film, jagoan itu membela rakyat. Kalau ini, jagoannya malah nantangin rakyat.

Dan tentu saja, ada Luhut Binsar Panjaitan. Pejabat segala urusan, komentator tetap Indonesia. Baru-baru ini menyuguhkan tembang kontroversial: kritik jelek terhadap pemerintah, katanya, mestinya langsung digusur: “Kalau kritik terus jelek, ya angkat kaki saja dari Indonesia.”

Sulit membayangkan, dalam alam demokrasi, kritik yang dianggap jelek justru disuruh minggir—bukan didengar. Logikanya: yang membayar gaji pejabat ini siapa?

Rangkaian kalimat semacam itu membalik cermin: bukan rakyat yang sedang diuji, tapi negara ini sedang diuji oleh sikap pemimpin dan pejabatnya.

Kalau ada Guinness World Record untuk pernyataan pejabat yang paling membuat rakyat geleng kepala, Indonesia mungkin langganan juara.

Bukan sekali dua kali, tapi setiap tahun. Kata orang bijak, ucapan adalah cermin jiwa. Kalau kita melihat koleksi pernyataan pejabat negeri ini, jiwa mereka tampak jelas: penuh keyakinan, penuh percaya diri.

Tapi entah mengapa, keyakinan itu lebih sering melukai daripada menenangkan. Yang tersisa di hati rakyat bukan tawa lega, tapi getir—mirip beli beras mahal sambil dengar pejabat bilang inflasi terkendali. (*)

Ali Achmadi, praktisi pendidikan, pemerhati masalah sosial, tinggal di Pati

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like