
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dunia kerja lagi-lagi bikin pusing kepala. Bukan cuma karena target yang makin menumpuk, tapi juga karena kantor makin tega memangkas karyawan demi kasih jalan buat kecerdasan buatan (AI).
Hasilnya? Pekerja dipaksa ngebut dengan sumber daya minim, sementara peluang naik jabatan makin tipis. Fenomena terbaru yang muncul dari kondisi ini disebut “quiet cracking.”
Beda tipis dengan istilah populer quiet quitting, tapi dampaknya lebih dalam. Kalau quiet quitting itu disengaja—karyawan menahan diri biar nggak terlalu ngoyo—quiet cracking justru terjadi tanpa sadar. Karyawan merasa lelah, nggak dihargai, tapi juga takut resign di tengah pasar kerja yang lagi seret.
“Gejalanya mirip burnout: hilang motivasi, merasa nggak berguna, gampang marah, atau cepat tersinggung,” jelas Martin Poduška, Pemred sekaligus penulis karier di Kickresume, dikutip dari Fortune, Senin (25/8/2025).
Data pun menguatkan tren suram ini. Laporan TalentLMS 2025 mengungkap 54% pekerja mengaku nggak bahagia di kantor. Sedangkan survei Gallup 2025 mencatat keterlibatan karyawan global anjlok dari 23% jadi 21% tahun lalu. Kerugian? Produktivitas yang raib senilai US$438 miliar.
Masalahnya, quiet cracking ini licin banget. “Bisa jadi kamu lagi mengalaminya sekarang, tapi belum sadar karena butuh waktu sampai terlihat jelas,” tambah Poduška.
Bagi perusahaan, ini warning keras. Budaya kerja yang toksik bukan cuma bikin karyawan sengsara, tapi juga bisa bikin bisnis jeblok. Apalagi, 47% karyawan yang mengalami quiet cracking bilang manajernya ogah mendengar keluhan.
So, Gimana Solusinya?
Perusahaan perlu lebih peduli: kasih kesempatan pelatihan, tantangan baru, sampai mendengar suara karyawan. TalentLMS mencatat, 62% pekerja yang nggak mengalami quiet cracking ternyata rutin dapat pelatihan, beda jauh dari 44% yang kerap mengalaminya.
“Pelatihan itu tanda investasi perusahaan terhadap potensi karyawan. Efeknya, motivasi naik, skill berkembang, dan suasana kerja lebih sehat,” tulis laporan tersebut.
Tapi PR bukan cuma di kantor. Karyawan juga perlu introspeksi. Kalau peluang karier buntu, coba diskusi dengan atasan atau bahkan mulai buka opsi pindah kerja.
“Buat sebagian orang, perubahan karier total bisa jadi jalan keluar. Tapi ada juga yang cukup pindah divisi atau cari tantangan baru biar semangat lagi,” pungkas Poduška. (Red)