
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tanah Astina yang megah, bertahta Prabu Duryudana—raja yang dulu dielu-elukan sebagian rakyatnya. Saat ia naik takhta, banyak yang percaya ia akan membawa kemakmuran. Janjinya manis, katanya ia akan menjaga rakyat seperti menjaga darah daging sendiri.
Namun waktu membongkar watak sejati. Kebijakan Prabu Duryudana mulai tidak berpihak pada rakyat. Rakyat jelata diperas tenaganya.
Pajak tanah dinaikkan, bongkar pasang punggawa kerajaan semaunya, dan ketika rakyat bersuara, ia malah menatap mereka dengan senyum congkak.
“Jika kalian tak suka titahku, berkumpullah di alun-alun! Bawa ribuan orang, aku tidak gentar!” ujarnya dengan nada pongah, seperti Arimbi menantang raksasa di tengah perang.
Tantangan itu dijawab. Dari pelosok Kurusetra, rakyat berbondong-bondong ke alun-alun Hastinapura. Genderang ditabuh, teriakan “Lengserkan Duryudana!” membahana.
Mereka yang dulu memilihnya kini berdiri di barisan yang sama: menuntut sang raja turun dari singgasana.
Namun Duryudana bersikukuh. Ia berdalih bahwa dirinya sah naik tahta lewat restu sidang agung para Kurawa. Ia lupa satu hal penting: dalam dunia pewayangan, sah secara hukum belum tentu sah secara wahyu.
Wahyu Keprabon—restu ilahi yang membuat titah raja dihormati—hanya akan bertahan selama ia setia pada rakyatnya. Dan kini wahyu itu sudah terbang meninggalkannya, mencari tuan baru yang lebih layak.
Tanpa wahyu, seorang raja hanyalah boneka di kursi emas. Para ksatria mulai ragu melaksanakan perintahnya, para patih berbisik-bisik di balik layar.
Negeri Astina pun goyah, karena rakyat tak lagi memandangnya sebagai pemimpin, melainkan sebagai penguasa yang memaksa duduk di takhta yang tak lagi menjadi miliknya.
Sejarah pewayangan mencatat, raja yang kehilangan wahyu akan berakhir tragis. Ia bisa jatuh karena perang besar seperti Baratayuda, atau tersingkir oleh gelombang rakyat yang tak terbendung. Dan Duryudana—meski masih bertakhta—sebenarnya sudah tumbang sejak hari ketika rakyat menarik mandatnya.
Karena dalam tatanan sejati, tahta adalah titipan, dan ketika pemiliknya meminta kembali, menahan diri untuk melepaskannya hanya akan mengundang murka para dewa. (Red)
Penulis: Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati