
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap tanggal 27 Juli, bangsa Indonesia memperingati salah satu peristiwa penting dalam sejarah politik tanah air, yakni peristiwa Kudatuli—akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.
Peristiwa yang juga dikenal dengan sebutan “Sabtu Kelabu” ini terjadi pada 27 Juli 1996, dan hingga kini masih menyisakan luka serta pertanyaan besar bagi demokrasi Indonesia.
Menurut catatan resmi dari Komnas HAM, Kudatuli merupakan peristiwa kekerasan yang berlangsung di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berlokasi di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Kantor tersebut saat itu dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri, yang sebelumnya terpilih sebagai Ketua Umum PDI melalui Kongres Surabaya 1993.
Namun, kepemimpinan Megawati tidak diakui oleh pemerintah Orde Baru, yang saat itu mendukung kepengurusan PDI versi Soerjadi.
Ketegangan memuncak saat pada pagi hari 27 Juli 1996, aparat keamanan dan sekelompok massa tak dikenal menyerbu kantor DPP PDI yang dikuasai oleh loyalis Megawati.
Penyerbuan tersebut memicu bentrokan hebat yang meluas hingga ke kawasan sekitar, menyebabkan kerusuhan, pembakaran, dan kerusakan fasilitas umum.
Akibat dari peristiwa tersebut, puluhan orang luka-luka, ratusan ditangkap, dan beberapa dinyatakan hilang. Hingga kini, pengusutan kasus tersebut masih dianggap belum tuntas.
Komnas HAM bahkan sempat menyatakan bahwa Kudatuli memenuhi unsur sebagai pelanggaran HAM berat, meski belum ada proses hukum yang menuntaskan pertanggungjawaban para pelakunya.
Peringatan Kudatuli setiap tahun bukan hanya untuk mengenang korban, tetapi juga menjadi momentum refleksi atas pentingnya demokrasi, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
Kudatuli adalah pengingat bahwa politik tidak boleh dijalankan dengan kekerasan dan bahwa suara rakyat harus dihormati, bukan ditekan.
Kini, peristiwa itu menjadi simbol perjuangan panjang menuju demokrasi yang lebih adil dan manusiawi. (Red)