
Oleh: Muhammad Arief Zuliyan*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali memanas. Eskalasi terbaru ini masih berakar pada sengketa lama terkait kepemilikan Kuil Preah Vihear, yang terletak di perbatasan Provinsi Preah Vihear (Kamboja) dan Provinsi Sisaket (Thailand).
Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear merupakan wilayah sah Kamboja, dan Thailand diperintahkan untuk menarik pasukannya. Namun hingga kini, keputusan itu belum sepenuhnya diterima oleh Thailand.
Ketegangan meningkat kembali pada 2008 saat UNESCO menetapkan kuil tersebut sebagai situs warisan dunia milik Kamboja. Thailand merespons dengan meningkatkan kehadiran militer di wilayah sengketa, yang oleh Kamboja dianggap sebagai tindakan provokatif.
Situasi kembali memburuk ketika seorang tentara Thailand terluka akibat ranjau darat di perbatasan. Hal ini memicu serangan udara Thailand menggunakan pesawat F-16, yang dibalas oleh serangan artileri Kamboja, bahkan ke wilayah sipil, menewaskan belasan warga dan melukai puluhan lainnya.
Upaya Damai yang Terbatas
Hingga saat ini, berbagai upaya diplomatik telah dilakukan baik di level bilateral, regional, hingga internasional. Namun, resolusi permanen masih jauh dari harapan.
Mengacu pada teori resolusi konflik Johan Galtung, terdapat tiga tahapan strategis dalam menciptakan perdamaian: peace making, peace keeping, dan peace building.
Peace making telah diupayakan melalui negosiasi dan mediasi, termasuk pelibatan pihak ketiga. Namun, peace keeping (penjagaan gencatan senjata) dan peace building (rekonstruksi sosial-politik pascakonflik) belum terlaksana secara efektif. Akibatnya, konflik tetap menjadi ancaman nyata dan berulang.
Tantangan bagi ASEAN
Konflik ini bukan hanya soal kedaulatan dua negara, tetapi juga uji besar bagi kredibilitas ASEAN sebagai organisasi kawasan yang menjunjung perdamaian. Indonesia, sebagai kekuatan utama kawasan, sempat dipercaya menjadi fasilitator dialog Thailand–Kamboja pada 2011.
ASEAN juga sempat menggelar Informal Foreign Minister’s Meeting dengan agenda tunggal membahas konflik ini. Namun minimnya dukungan konkret dari negara-negara anggota lain membuat hasilnya stagnan.
Konflik yang terus berulang ini menciptakan efek domino. Misalnya, Kamboja menjadi jalur utama ekspor produk Thailand ke Vietnam. Ketegangan yang berkepanjangan dapat mengganggu rantai logistik dan merugikan ekonomi kawasan.
Jika ASEAN serius ingin menjadi komunitas politik-keamanan yang utuh, maka pendekatan peace keeping dan peace building harus diperkuat secara kolektif, bukan sekadar seremonial.
Perlu ada komitmen politik yang lebih kuat dari para pemimpin kawasan, termasuk pembentukan tim penjaga perdamaian ASEAN atau mekanisme monitoring independen yang aktif di zona konflik.
Sebagai organisasi kawasan, ASEAN tidak boleh bersikap pasif. Jika dibiarkan berlarut, konflik Thailand–Kamboja akan menjadi preseden buruk bagi penyelesaian konflik lain yang potensial di Asia Tenggara.
Hematnya, Konflik Thailand–Kamboja menunjukkan bahwa kepentingan nasional seringkali menjadi penghalang utama bagi perdamaian regional. Tanpa strategi jangka panjang dan dukungan politik kolektif, ASEAN akan terus gagal menjadi juru damai yang efektif di rumahnya sendiri. (Red)
*) Muhammad Arief Zuliyan S.IP., LL.M., dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang