
Oleh: Krisna Wahyu Yanuar*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sejak awal berdirinya memang dikenal mengusung slogan yang memikat: anti-korupsi, anti-intoleransi, pro-perempuan, pro-kaum muda.
Sebagai partai yang lahir pasca-Reformasi dan berisi “anak muda”, PSI sempat memberi harapan segar akan hadirnya politik baru yang lebih bersih, rasional, dan meritokratis.
Namun dalam praktiknya, PSI lebih banyak dikenal publik bukan karena capaian programatiknya, melainkan karena loyalitas buta terhadap Jokowi.
Alih-alih menjadi oposisi kritis atau mitra strategis, PSI sering kali tampil seperti klub penggemar (fan club) presiden — tak segan menyerang siapa pun yang mengkritik Jokowi dengan label “kadrun”, “anti-NKRI”, bahkan “ketinggalan zaman”.
Dari perspektif demokrasi, fenomena ini justru memperlihatkan bahwa PSI belum sanggup lepas dari budaya patronase yang selama ini dikritiknya.
Politik bukan lagi soal gagasan dan kebijakan, tetapi tentang siapa yang paling keras memuji pemimpin yang sedang berkuasa.
Gaya komunikasi PSI yang bombastis di media sosial, kerap disertai meme dan caci-maki, lebih mirip politik hiburan daripada politik substantif.
Sikap PSI selama Pilpres 2024 — mendukung pencalonan Gibran Rakabuming Raka (anak Jokowi) sebagai cawapres — semakin menegaskan kontradiksi mereka.
Di satu sisi mereka mengaku anti-dinasti politik, di sisi lain justru menjadi salah satu penjuru yang paling keras membela praktik itu ketika Jokowi melakukannya.
Jokowi dan “Kegilaan” Kekuasaan
Apa yang dimaksud sebagian orang dengan “kegilaan” Jokowi? Ungkapan ini tentu metaforis. Ia menunjuk pada tindakan-tindakan Jokowi di ujung kekuasaannya—yang dianggap melampaui norma-norma demokrasi yang sehat.
Diantaranya, ikut campur terlalu jauh dalam Pilpres 2024, mendorong putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial terkait batas usia cawapres (yang memungkinkan Gibran maju), serta mengerahkan sumber daya negara demi memastikan kemenangan kelompoknya.
Sebagai presiden, Jokowi selama dua periode berhasil mempertahankan tingkat kepuasan publik tinggi. Namun, sebagian publik di republik ini melihat fakta sumbang yang kerap kali dipertontonkan tanpa etis. Prediksi pakar, kepuasan publik perlahan menurun.
Fakta ini terutama tercermin di tahun-tahun terakhir, ia dinilau tampak larut dalam upaya melanggengkan pengaruhnya pasca-2024, bahkan dengan cara-cara yang disebut banyak pengamat sebagai tidak etis—memanipulasi konstitusi secara prosedural, memanfaatkan aparat, dan menutup ruang kritik.
Bahkan Amien Rais, salah satu tokoh reformasi, menyebut Jokowi sebagai contoh “neo-otoritarianisme” — seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis namun kemudian melemahkan demokrasi dari dalam.
Ini mencerminkan paradoks: dari seorang “outsider” yang dulu mengaku ingin memberantas feodalisme politik, Jokowi berubah menjadi pusat kekuasaan yang ia kritik sendiri dulu.
Refleksi
Setelah terpilih menjadi ketua umum, Kaesang Pangarep optimis partainya masuk ke Senayan. Alih-alih hasrat itu tersalurkan, kini PSI di bawah kepemimpinannya melakukan pergantian logo dengan filosofi yang sedikit ‘tidak jelas’.
Pada logo, kepala gajah dengan warna merah dan badan berwarna hitam, konon melambangkan ilmu pengetahuan dan kekuatan. Namun, filosofi tersebut terkesan hanya sekedar kedangkalan mereka: tak lebih dari fanatisme Jokowi.
Tanpa memiliki gagasan yang “mumpuni”, fenomena PSI dan Jokowi menunjukkan kepada kita satu pelajaran penting: idealisme mudah diucapkan saat di luar lingkar kekuasaan, tetapi sangat sulit dijaga ketika berada di dalamnya.
PSI yang dulunya membawa semangat anti-dinasti, anti-korupsi, dan anti-politik identitas justru terseret dalam praktik yang sama.
Jokowi yang dulu dielu-elukan sebagai “manusia biasa” yang melawan elit, kini menjadi simbol baru dari elite itu sendiri.
Demokrasi yang sehat membutuhkan partai yang berani berpikir kritis, bukan hanya menjadi perpanjangan tangan penguasa.
PSI tampaknya gagal memenuhi itu. Begitu pula presiden yang sehat harus siap melepaskan kekuasaan dengan lapang, bukan mempertahankannya lewat cara-cara manipulatif.
Kita, sebagai warga, perlu mengingatkan bahwa loyalitas terhadap pemimpin harus tetap dalam kerangka prinsip demokrasi, bukan kultus individu.
Dan kita juga berhak meminta partai-partai politik untuk lebih berorientasi pada program nyata ketimbang hanya menjadi buzzer elite. Sekian! (Red)
*) Krisna Wahyu Yanuar, editor Urupedia.id dan mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung