
Oleh: Mario Oktavianus Magul*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Konsep tentang Ide merupakan inti dan dasar dari seluruh pemikiran filosofis Plato. Ide yang dimaksudkan dalam konteks ini sejatinya perlu kita lihat sebagai sesuatu yang berbeda dari konsep ide yang dipahami oleh kebanyakan orang pada umumnya.
Dalam pemahaman orang modern, ide itu selalu diidentikkan dengan sebuah gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran seseorang.
Akibatnya, mereka jatuh dalam tendensi negatif yang hanya melihat ide sebagai sesuatu yang subjektif. Pemahaman ide yang semacam ini sesungguhnya berbeda dengan konsepsi Ide yang ada dalam pemikiran Plato. Baginya, Ide itu merupakan sesuatu yang objektif. (Bertens, 2018: 133).
Dengan kata lain, Plato melihat bahwa ada Ide-ide yang mampu berdiri sendiri dan terlepas dari subjek yang berpikir. Ide-ide itu tidak diciptakan dan tidak bergantung pada pemikiran kita – tetapi sebaliknya, pemikiran kita-lah yang justru bergantung padanya (Ide-ide).
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk melihat konsep Ide Plato dalam dua dunia yang berbeda, yakni dunia Ide dan dunia fisik.
Dalam dunia Ide, setiap bentuk ada dalam kesempurnaan yang absolut, tidak mengalami perubahan dan bersifat abadi.
Sementara, dalam dunia fisik, yang kita jumpai hanyalah bayangan atau tiruan tidak sempurna dari dunia Ide. Segala sesuatu yang ada di dunia fisik selalu berada dalam proses perubahan, tidak permanen, dan terikat pada ruang dan waktu. (Mepi Lele, dkk., 2024: 164).
Selayang Pandang tentang Alegori Gua
Alegori Gua adalah salah satu dari sekian banyak karya Plato yang terdapat dalam dialog “Republik”.
Secara garis besar, alegori ini memberikan suatu gambaran yang jelas kepada para pembaca perihal sekelompok orang yang sejak lahir telah terkurung dan terbelenggu di dalam Gua.
Tangan dan kaki mereka diikat, sehingga mereka tidak dapat bergerak sedikitpun, dan hanya bisa melihat dinding Gua yang berada di hadapannya (Enjang, dan Didi Supandi, 2024: 149).
Akibatnya, tak ada realitas lain yang berhasil mereka lihat, selain bayangan semu yang dipantulkan di dinding Gua tersebut.
Lantas, tak mengherankan kalau seluruh penglihatan mereka hanyalah sebuah bayangan yang bukan dari bentuk kenyataan sejati.
Mereka beranggapan bahwa hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa menyadari bahwa bayang-bayang itu hanyalah sekadar bayang-bayang (Gaarder, 1997: 139).
Konsep Ide Plato dalam Alegori Gua
Seusai membaca dan memahami “Alegori Gua”, penulis sekurang-kurangnya dapat menemukan beberapa gagasan pokok mengenai konsep Ide Plato yang termuat di dalamnya.
Dalam hal ini, penulis mencoba untuk melihat gagasan itu dalam beberapa poin. Pertama, soal keterbatasan persepsi (pengetahuan). Dalam alegorinya, Plato menggambarkan secara jelas perihal keterbatasan yang dialami oleh para tahanan di dalam gua.
Pengetahuan dan pemahaman mereka hanya terbatas pada objek tertentu yang terpampang di hadapan wajah. Objek itulah yang kemudian dibahasakan oleh Plato sebagai bayangan-bayangan semu (ilusi).
Bayangan-bayangan ini mempresentasikan dunia fisik yang kita alami, sementara objek-objek asli di luar gua mempresentasikan dunia Ide.
Plato meyakini bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui akal budi yang mampu melampaui pengalaman inderawi (Mepi Lele, dkk: 163).
Kedua, soal simbolisme. Simbolisme yang dimaksudkan oleh penulis dalam hal ini sejatinya selalu merujuk pada gagasan Plato.
Ia memberikan suatu analogi yang menarik perihal gua sebagai dunia fisik (persepsi), dan realitas di luar gua sebagai dunia Ide yang sejati.
Ia menerangkan bahwa dunia fisik yang dialami oleh para tawanan di dalam gua sesungguhnya hanyalah bayangan yang tak sempurna dari dunia ide yang nyata.
Baginya, realitas yang sejati terletak pada dunia Ide atau dunia bentuk (hasil penglihatan di luar gua) yang merupakan sumber kebenaran mutlak.
Ketiga, soal korelasi antara filosofi dan pendidikan. Plato, dalam alegorinya juga menegaskan satu poin penting tentang kedua hal ini.
Bahwasannya untuk mencapai suatu nilai yang lebih tinggi dari sebuah kehidupan dan kebenaran, seseorang perlu terlarut di dalam Pendidikan dan pengetahuan.
Ia tidak boleh merasa puas dengan segala pengetahuan yang ia miliki, tetapi harus selalu merasa “haus” dengan segala sesuatu yang dapat mengantar dia pada kebenaran yang memang benar (aksioma). Ketiga hal inilah yang menjadi gagasan pokok Plato dalam Alegori Gua.
Relevansinya dengan Konteks Masyarakat Masa Kini
Berangkat dari pelbagai penjelasan tentang gagasan Plato, penulis dapat menyimpulkan bahwa alegori ini sesungguhnya memiliki relevansi yang kuat dengan realitas hidup masyarakat masa kini.
Pertama, gambaran tentang para tawanan yang terkurung di dalam gua dengan segala keterbatasan yang ada, acapkali dapat menjadi cerminan dari karakter sekelompok orang yang selalu merasa betah untuk tinggal di dalam ketidaktahuan dan kebodohan.
Dalam konteks dunia saat ini, gambaran semacam ini dapat kita lihat secara gamblang dalam profil kelompok masyarakat konservatif.
Mereka yang termasuk dalam golongan ini pada dasarnya cenderung bersikap eksklusif (tertutup) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta kaku terhadap hal-hal baru dan perubahan yang terjadi di sekitar mereka.
Kedua, gambaran tentang salah satu tawanan yang berhasil keluar dari gua dan melihat suatu realitas lain yang lebih nyata, sebaliknya, justru dapat menjadi karakter dari sekelompok orang yang berani berpikir “out of the box”.
Mereka berani berjuang untuk “lepas bebas” dari belenggu kebodohan dengan mencari jalan keluar, yakni pengetahuan.
Dalam konteks dunia dewasa ini, gambaran semacam ini tercermin dalam profil kelompok masyarakat yang lebih bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman.
Mereka tidak menutup diri dengan segala sesuatu, dan cepat beradaptasi dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang semakin maju.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa para pakar pengetahuan, para akademisi, para peneliti dan para pelajar di pelbagai tingkat/jenjang yang ada barangkali dapat masuk dalam kategori ini.
Mereka adalah cerminan dari sekelompok orang yang berani berjuang dalam hal mencari kebenaran sejati. (Red)
*) Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta