Kyai Sa’dullah, Sang Lentera Filsuf ala Santri yang Kini Telah Pergi

Dr. KH. Mantan Rektor UNISNU Jepara dua periode 2016-2024, Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi saat foto bersama dengan Rektor UNISNU Jepara Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A (dok istimewa)

SUARAMUDA, SEMARANG – Namanya Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi, lahir di Jember pada 17 Januari 1956. Meski darah kelahiran tidak mengalir dari bumi Kartini, namun cintanya kepada Jepara—terutama perjuangannya dalam membangun pendidikan tinggi NU di sana—mengakar lebih dalam daripada sekadar tempat tinggal.

Ia adalah tokoh yang membidani lahirnya INISNU, yang hari ini dikenal sebagai UNISNU Jepara. Seorang santri tulen yang kelak menjadi arsitek keilmuan dan pejuang intelektualitas kampus Nahdlatul Ulama di Jepara.

Kyai Sa’dullah merupakan salah satu perintis pendirian INISNU JEPARA dan penyusun serta penyaji makalah berjudul “Perintisan Pendirian Perguruan Tinggi NU”—disusun pada Desember 1987—dan menjadi naskah akademik dalam pendirian perguruan tinggi INISNU JEPARA.

Ia juga ketua Panitia Pendiri PTNU dengan nama Institut Islam NU (INISNU) Jepara yang beroperasi awal pada 1 Juli 1989.

Sebagai Ketua Panitia Pendiri INISNU, Kyai Sa’dullah memainkan peran kunci dalam menata fondasi kampus. Tepat pada 1 Juli 1989, kampus itu berdiri dan mulai beroperasi.

Tak sekadar nama yang dicatat dalam dokumen, beliau hadir dengan seluruh energi dan dedikasinya. Tugas-tugas administratif, konseptual, bahkan spiritual ia lakoni secara bersamaan.

Sebuah model pemimpin pendidikan NU yang tidak hanya memimpin dari podium, tetapi juga dari surau, ruang kuliah, dan lorong-lorong mahasiswa.

Perjalanan Kyai Sa’dullah di INISNU tak berhenti di titik pendirian. Ia sempat memegang jabatan strategis sebagai Kepala Biro UKKA pada 1990-1992, Pembantu Rektor II tahun 2007-2011, dan Wakil Rektor I UNISNU 2013-2016.

Bahkan, pada akhirnya ia dipercaya menyandang jabatan Rektor UNISNU Jepara selama dua periode berturut-turut, yaitu 2016-2020 dan 2020-2024. Kiprah yang utuh dari fondasi hingga puncak, dari gagasan hingga pengelolaan.

Namun, sejarah bukanlah jalur lurus. Medio 2000–2006, Kyai Sa’dullah sempat tidak terlalu intens di kampus Jepara. Justru pada masa itu, ia menjalankan amanah intelektual lain.

Rupanya, ia membantu memimpin STAIN Kudus sebagai Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan mendampingi Prof. Dr. Muslim A. Kadir.

Inilah fase di mana Kyai Sa’dullah membuktikan kepeduliannya terhadap dunia aktivisme mahasiswa. Bukan hanya sebagai slogan, melainkan sebagai ruang kaderisasi nilai dan akal.

Bagi para aktivis mahasiswa di Kudus dan Jepara pada era 2000-an, nama Kyai Sa’dullah identik dengan pertemuan penuh makna, baik di ruang resmi maupun di beranda rumahnya, antara lain di Mejobo Kudus dan Batealit Jepara.

Tak jarang tensi kritik mahasiswa dipeluk dengan kehangatan dialog dan jamuan khas santri. Baginya, konflik reda bukan karena kompromi gagasan, tapi karena kehangatan silaturahmi dan prinsip bahwa kampus adalah ruang adab dan akal sehat.

Ada satu kalimat yang tak lekang waktu: “Dinamika kampus harus dibangun berdasarkan intelektual aktivis, namun hubungan dosen dan mahasiswa ciptakanlah seperti hubungan santri dan kyai.”

Ini bukanlah sebuah retorika. Ini adalah napas yang menghidupi setiap pertemuan, setiap pengkaderan, setiap keputusan kebijakan. Kyai Sa’dullah bukan sekadar birokrat kampus. Ia adalah guru.

Oleh Kyai Sa’dullah, pendidikan tak berhenti di skripsi atau gelar, tapi harus menjadi jalan seumur hidup. “Belajar itu jihad paling senyap, tapi paling menentukan arah umat,”

Kyai Sa’dullah adalah santri sejati, sebelum menjadi akademisi dan birokrat. Ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum dan Bahrul Ulum Jombang.

Ia bahkan mengkhatamkan keilmuan Qur’an dan Hadits di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Santri sekaligus sarjana. Tradisi sekaligus modernitas. Sebuah jembatan epistemologis yang kokoh dalam dirinya.

Bahkan integrasi pendidikan filsafat di pesantren menjadi sangat relevan agar dapat melahirkan santri yang tidak hanya religius, tetapi juga pemikir kritis dan inovatif.

Dari tubuhnya mengalir keikhlasan seorang santri, namun pikirannya bekerja laksana manajer kampus yang progresif.

Di tangannya, kampus NU Jepara tidak sekadar menjadi lembaga pendidikan, tetapi menjadi rumah tumbuhnya intelektual muda NU.

Satu per satu kader muda didorong menempuh beasiswa, publikasi, dan forum ilmiah. Ia meletakkan batu pertama bagi lahirnya ekosistem ulama intelektual Jepara.

Tak sedikit alumni INISNU dan UNISNU yang kini menjadi dosen-dosen muda, peneliti, birokrat, hingga aktivis nasional.

Jejaring intelektual muda NU di Jepara, yang belakangan mulai diperhitungkan secara nasional, tak bisa dilepaskan dari sumbangsih struktur dan kultur yang ditanam Kyai Sa’dullah sejak dekade 1980-an.

Ia membentuk bukan hanya struktur kampus, tapi habitus berpikir dan berorganisasi.

Sebagai Ketua Bidang Akademik YAPTINU (2011–2013), dan sebelumnya Sekretaris II Yayasan INISNU (1988–1995), ia mengerti betul bahwa sebuah kampus NU tidak akan besar hanya dengan bangunan megah dan kurikulum modern, melainkan harus ditopang oleh niat tulus dan kerja kader yang serius.

Beberapa peran penting Kyai Sa’dullah dalam beberapa dekade akhir ini pun tak sembarangan.

Walhasil, dirinya juga terlibat langsung dalam pengusulan Pahlawan Nasional Ratu Kalinyamat.

Bahkan masih aktif pula ia membersamai majelis IKA PMII dalam beberapa kesempatan, almamater “aktivisnya” kala muda.

Dalam diam, Kyai Sa’dullah seringkali membantu kader muda untuk melanjutkan studi dengan mencari jalan, mencarikan pintu.

Ia bukan pemimpin flamboyan. Ia lebih menyerupai pelita di gang-gang sunyi. Tidak selalu terang, tapi cukup memberi arah.

Tidak mencolok, tapi selalu hadir. Ketika para mantan mahasiswa mencoba menelusuri jejak-jejaknya, yang ditemukan bukan pamflet atau piagam, melainkan cerita, pertemuan, dan pengaruh yang senyap namun kuat.

Wafatnya Kyai Sa’dullah bukan sekadar kehilangan bagi keluarga besar UNISNU Jepara. Ini kehilangan seorang figur jembatan, antara pesantren dan kampus, antara dosen dan mahasiswa, antara generasi pendiri dan kader penerus.

Kyai Sa’dullah telah menunaikan tugasnya dengan tenang dan penuh kesungguhan.

Kini, orang perlu tahu bahwa di balik kampus UNISNU yang terus tumbuh, sejatinya ada tangan, ada hati, dan ada doa Kyai Sa’dullah di setiap temboknya.

Ia mungkin telah pergi, tapi nyala itu akan terus dijaga, seperti ia pernah menjaga para santri, kaum muda Jepara. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like