Tak Disangka, Orang Terkaya RI Pilih Ngopi di Warung Pinggir Jalan. The Real King HB IX

SUARAMUDA – Dalam beberapa tahun terakhir, budaya minum kopi semakin menjamur di kalangan masyarakat. Tidak sedikit yang rela menghabiskan uang lebih hanya untuk segelas es kopi di kedai atau kafe-kafe ternama.

Bahkan, ada anggapan bahwa nongkrong di kafe dengan secangkir kopi bisa menjadi simbol status sosial yang lebih tinggi. Sayangnya, kebiasaan ini seringkali menguras kantong, terutama bagi mereka yang memiliki penghasilan terbatas.

Namun, di tengah maraknya tren minum kopi mahal ini, ada pelajaran berharga dari sosok Sri Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX), Raja Yogyakarta yang terkenal dengan gaya hidup sederhana.

Meski berasal dari keluarga bangsawan dan memiliki harta berlimpah, Sultan HB IX justru menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu terletak pada kemewahan.

Salah satu contoh kesederhanaannya adalah kebiasaannya minum kopi di warung pinggir jalan, jauh dari gemerlap kafe mahal.

Kisah Kopi di Malang, 1945: Sultan dan Baswedan di Warung Pinggir Jalan
Kisah ini terjadi pada tahun 1945, ketika suasana Indonesia tengah dipenuhi semangat perjuangan kemerdekaan.

Sultan HB IX, yang saat itu menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan nasional, menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang.

Di sela-sela sidang yang melelahkan dan membosankan, Sultan merasa perlu sejenak keluar dari ruangan untuk menghilangkan penat.

Menurut A.R. Baswedan, seorang pahlawan nasional Indonesia yang turut hadir dalam pertemuan itu, Sultan HB IX tampak gelisah saat duduk mendengarkan pembahasan panjang sidang.

Suasana semakin menjemukan karena hujan rintik yang membuat malam itu semakin dingin. Merasa tidak betah, Sultan HB IX akhirnya berdiri dan mendekati Baswedan, yang duduk di dekatnya. Dengan sikap yang hangat, Sultan mengajak Baswedan untuk keluar ruangan.

“Sri Sultan kelihatan kesal, bosan, dan kedua kakinya diluruskan. Begitu melihat saya, dia langsung berdiri dan berkata, ‘Saudara Baswedan, ayo kita keluar!'” kenang Baswedan dikutip dari buku Masa Lalu Selalu Aktual (2007).

Tanpa pikir panjang, Baswedan menyetujui ajakan Sultan HB IX. Bagaimana mungkin ia bisa menolak ajakan Raja Jawa yang dihormati?

Namun, Baswedan tidak tahu ke mana Sultan akan membawanya. Setelah berjalan beberapa langkah, Baswedan terkejut saat mendapati dirinya diajak ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung itu hanya diterangi lampu sentir, dan suasananya sangat sederhana.

Di warung tersebut, Sultan HB IX dan Baswedan memesan kopi panas yang diseduh dengan cara tradisional serta menikmati dua pisang goreng yang masih hangat. Tanpa protokol istana dan jauh dari sorotan kamera, mereka menikmati malam itu dengan hangat, sambil bercengkerama ringan. Sikap ini sangat kontras dengan latar belakang Sultan yang kaya raya.

Kekayaan yang Tak Membutakan: Sosok Sultan HB IX di Tengah Kemewahan
Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di Yogyakarta. Ia memimpin Kesultanan Yogyakarta sejak tahun 1940, dan menjadi salah satu penguasa yang paling dihormati di Indonesia.

Kekayaan yang dimilikinya tidak hanya berasal dari warisan keluarga, tetapi juga dari sistem feodalisme kerajaan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Kekayaan yang diwarisi oleh Sultan HB IX mencakup tanah luas, properti berharga, dan berbagai aset lainnya. Kendati demikian, Sultan tidak pernah menunjukkan kesombongan atau hidup berlebihan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Sultan HB IX menunjukkan kepeduliannya kepada negara dan rakyat. Ia menyumbangkan uang sebesar 6,5 juta gulden kepada pemerintah untuk membantu stabilitas ekonomi Indonesia yang baru merdeka.

Tidak hanya itu, Sultan juga memberikan 5 juta gulden untuk rakyat yang mengalami kesulitan. Jika dikonversikan ke nilai mata uang saat ini, sumbangan tersebut setara dengan Rp20-30 miliar—jumlah yang sangat besar untuk ukuran zaman itu.

Meski demikian, Sultan HB IX tetap hidup sederhana dan tidak terjebak dalam gemerlap kekayaan. Bahkan, ketika menjadi Raja Jawa yang dihormati, ia lebih suka menikmati suasana lokal yang merakyat, seperti minum kopi di warung pinggir jalan.

Es Gerobak di Stasiun Klender, 1946: Sebuah Pilihan Sederhana di Tengah Panas Terik
Kisah kesederhanaan Sultan HB IX tidak berhenti di warung kopi di Malang. Pada tahun 1946, saat Sultan berada di Jakarta, ia kembali menunjukkan kesederhanaannya.

Dalam suasana terik di siang hari, Sultan HB IX merasa kehausan dan membutuhkan minuman segar. Ia bisa saja pergi ke restoran mahal di tengah kota untuk mendapatkan minuman yang lebih eksklusif.

Namun, ia justru memilih membeli es dari pedagang kaki lima di pinggir jalan, tepatnya di depan Stasiun Klender.

Kisah ini tercatat dalam buku Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX (1982), yang menggambarkan bagaimana Raja Jawa yang penuh kharisma itu lebih memilih minum es di warung kecil daripada di restoran mahal.

Pilihan ini menggambarkan betapa dekatnya Sultan HB IX dengan rakyat kecil, serta bagaimana ia menghargai hal-hal sederhana dalam hidup.

Teladan dari Seorang Raja yang Bersahaja
Kesederhanaan Sultan HB IX bahkan menginspirasi banyak orang, termasuk para peneliti asing. Brackman, salah seorang peneliti yang mengamati perilaku Sultan HB IX, kagum dengan sikapnya yang tidak terkesan feodal meski berasal dari lingkungan kerajaan.

“Bagaimana mungkin, penguasa yang paling feodal di negeri ini begitu tidak feodal dalam tindak-langkah dan pemikirannya?” ujar Brackman, menyoroti betapa uniknya sosok Sultan yang kaya raya namun tetap rendah hati.

Kisah-kisah sederhana dari Sultan HB IX ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Di era yang serba materialistis dan penuh dengan gaya hidup konsumtif, Sultan HB IX menunjukkan bahwa kesederhanaan adalah kunci kebahagiaan.

Kita tidak perlu mengejar kemewahan atau membuktikan status sosial hanya dengan membeli kopi di kedai mahal. Sebuah kopi sederhana di warung pinggir jalan, dengan suasana yang hangat dan penuh kebersamaan, mungkin justru bisa memberikan makna yang lebih dalam.

Kisah ini menjadi cermin bagi generasi sekarang, bahwa gaya hidup sederhana bukan berarti miskin, melainkan kaya dalam kebijaksanaan dan rasa syukur.

Dengan segala kekayaan yang dimilikinya, Sultan HB IX tetap memilih jalur sederhana—jalur yang menjadikannya sosok yang dicintai dan dihormati oleh semua kalangan.

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like