Oleh: Abdul Rahman Azis, Pegiat Desa dan Taman Bacaan Masyarakat
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Pasca munculnya PMK 81 Tahun 2025, suasana di puluhan kabupaten mendadak kayak listrik byar-pet. Dana Desa Tahap II tidak bisa cair, dana desa non earmark ditarik lagi ke pusat.
Pokoknya pemerintah pusat kayak lagi ngecek saldo, terus tiba-tiba bilang, “Eh… maaf ya, ini kami ambil dulu.”
Kegiatan infrastruktur desa yang biasanya rampung dua tahap, kini banyak yang berhenti di tahap setengah jadi. Jalan jadi setengah halus, jembatan setengah nyambung, tembok setengah berdiri—pokoknya serba nanggung. Yang nggak nanggung cuma stres perangkat desa.
Kepala desa mulai ‘riweuh’. Ada yang mulai ngedumel: “Duitna mana atuh ieu? Urang mah hayang nyieun jalan, lain nyieun museum proyek mangkrak.”
Masuk awal Desember, aturan besaran Dana Desa dari Kemenkeu belum turun juga. Rasanya kayak nunggu hujan di musim kemarau: langit cerah pisan, tapi hati mendung terus.
Aturan dari Kemendesa soal fokus penggunaan Dana Desa 2026? Sama aja—ngilang kayak centang biru yang nggak pernah balik.
Sepertinya tahun 2026 bakal penuh hal yang membuat kita spontan ngomong: “desa saukur jadi penerima manfaat ti pusat?”
Mulai dari pagu Dana Desa, prioritasnya, sampai mekanisme pencairan—semuanya kemungkinan besar dirombak.
Tahun berjalan saja pemerintah sudah ngasih contoh dengan nahan Dana Desa non earmark tahap II buat desa yang belum mengajukan. Apalagi buat 2026? Bisa jadi desa disuruh siap-siap ikut kompetisi sabar nasional.
Di tengah semua kehebohan ini, pemerintah pusat lagi fokus sama proyek raksasa: Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Dan bukan raksasa biasa.
Anggarannya 240 triliun, dikasih lewat Himbara, target pengembalian 40 triliun per tahun selama 6 tahun. Angka-angkanya segede itu sampai kepala desa cuma bisa bilang: “Waduh… ieu mah proyek luar biasa.”
Dan puncaknya: Inpres 17/2025 bakal jadi kitab suci baru yang menentukan pagu Dana Desa 2026. Kemenkeu dan Kemendesa PDT pun akan patuh pada Inpres itu untuk menentukan fokus penggunaan anggaran desa.
Jadi siap-siap saja kalau nanti arah kebijakan berubah drastis. Pokoknya kalau desa lagi asyik ngerencanain A, bisa jadi pusat ngarahin ke Z.
Sing penting mah, kudu tetep tenang. Ulah heboh heula. Tarik napas, elus dada, dan sambil ngopi bilang pelan-pelan: “Bismillah, muga-muga teu aya aturan aneh deui.”
Karena pada akhirnya, desa cuma bisa berharap regulasi segera turun, biar perangkat desa nggak berubah profesi jadi pawang mendung. (Red)