Ketika Jalan Menuju Sehat Masih Berlubang: Refleksi Kritis atas Pemberantasan TBC di Indonesia

Ilustrasi penderita TBC. (gambar: pinterest)

Oleh: Yohanes Soares*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tuberkulosis (TBC) bukan sekadar penyakit. Ia adalah cermin yang memantulkan ketimpangan sosial, kelemahan sistem kesehatan, dan absennya keberpihakan yang nyata dari para pemimpin.

Meski Indonesia berada di peringkat kedua jumlah kasus TBC terbanyak di dunia, ironi terbesar justru terdapat pada fakta bahwa sebagian besar penderita tinggal di wilayah yang sangat jauh dari pusat layanan kesehatan, desa-desa terpencil, kampung di pedalaman, dan pulau-pulau kecil yang bahkan tidak tercatat di peta kebijakan pemerintah.

Di banyak daerah, perjalanan menuju puskesmas bukan lagi hitungan menit atau jam, tetapi perjuangan seharian. Jalan berlubang, tanjakan berbatu, sungai yang harus diseberangi tanpa jembatan, semua menjadi hambatan nyata bagi masyarakat yang ingin mencari pertolongan medis.

Dalam kondisi seperti ini, TBC bukan hanya penyakit, tetapi takdir yang dipaksa diterima karena akses menuju layanan kesehatan nyaris mustahil.

Namun persoalan TBC tidak berhenti pada soal geografi. Stigma sosial masih menjadi penyakit kedua yang mematikan. Di banyak komunitas, TBC masih dipandang sebagai kutukan, aib keluarga, atau penyakit memalukan yang harus ditutupi.

Akibatnya, banyak pasien memilih bersembunyi ketimbang berobat, menanggung batuk berkepanjangan dalam diam daripada menghadapi cibiran masyarakat. Stigma ini tidak hanya melukai, tetapi memperpanjang rantai penularan.

Sementara itu, anggaran pemerintah untuk TBC tetap tidak sebanding dengan beban masalahnya. Setiap tahun, program penanggulangan TBC masih harus bertarung dengan berbagai prioritas lain yang dianggap lebih mendesak.

Akibatnya, skrining tidak maksimal, pendampingan pasien terputus, tenaga kesehatan bekerja di bawah tekanan, dan obat kadang terlambat tiba di wilayah terpencil.

Masalah semakin rumit ketika kepemimpinan daerah tidak menempatkan TBC sebagai isu strategis. Banyak kepala daerah lebih tertarik pada proyek-proyek yang terlihat kasat mata seperti pembangunan tugu, trotoar, atau renovasi kantor daripada program kesehatan yang tidak populer secara politik.

TBC tidak tampil dalam baliho kampanye, tidak menjadi bahan pidato kemenangan, dan sering dianggap tidak seksi untuk dijadikan program unggulan.

Di level rumah tangga, kemiskinan memaksa keluarga membuat pilihan tragis: perut kenyang dulu, baru urusan kesehatan. Bagaimana mereka bisa membeli makanan bergizi atau ongkos transportasi ke puskesmas jika pendapatan harian bahkan tidak cukup untuk makan? Dalam kondisi seperti ini, berbicara tentang kepatuhan minum obat enam bulan terasa seperti kemewahan.

TBC adalah penyakit yang sangat bisa disembuhkan. Namun cara kita menanganinya, sering kali setengah hati. Program edukasi tidak menyentuh akar persoalan, pendampingan tidak berkelanjutan, dan pendekatan berbasis komunitas masih minim.

TBC adalah penyakit yang harus diselesaikan bersama, bukan hanya oleh tenaga kesehatan. Yang seharusnya dilakukan bukan hanya menambah puskesmas atau membagikan masker.

Kita perlu membangun sistem kesehatan yang mampu menjangkau desa-desa terpencil, bukan menunggu masyarakat datang. Kita perlu pemimpin yang berani mengakui bahwa kesehatan adalah fondasi pembangunan, bukan embel-embel program.

Kita memerlukan anggaran yang mencerminkan keseriusan, bukan sekadar formalitas perencanaan. Kita juga harus membongkar stigma di masyarakat, mematahkan keyakinan lama bahwa TBC adalah aib, bukan penyakit yang dapat disembuhkan.

Pemberantasan TBC menuntut keberanian, keberanian untuk merombak cara berpikir, memperbaiki cara bertindak, dan mengakui bahwa selama ini kita masih jauh dari kata berhasil.

Selama kita membiarkan jalan menuju layanan kesehatan tetap berlubang secara fisik maupun sosial, selama itu pula TBC akan terus mengambil korban diam-diam, jauh dari sorotan kamera, tetapi dekat dengan realitas masyarakat yang terpinggirkan.

Perang melawan TBC bukan perang melawan bakteri semata. Ia adalah perang melawan ketidakadilan. Dan sampai hari ini, kita belum memenangkan perang itu. (Red)

*) Yohanes Soares, aktivis sosial dan mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like