Oleh : Jumarti, M.AP *)
SUARAMUDA.NET., SEMARANG — Di bagian selatan Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, terdapat empat desa: Pusu, Waduruka, Kerampi dan Sarae Ruma. Wilayah ini dikenal sebagai Langgudu Selatan.
Secara administratif, kawasan ini merupakan bagian sah dari Kabupaten Bima. Namun dalam pengalaman keseharian, Langgudu Selatan seolah berada di luar perhatian pembangunan. Persoalan paling mendasar yang berdampak pada hampir semua aspek kehidupan warga adalah kondisi jalan yang rusak berat.
Akses jalan yang menghubungkan Langgudu Selatan dengan pusat kecamatan bukan hanya belum diaspal, tetapi bahkan tidak memenuhi standar jalan desa yang layak.
Pada musim kemarau, jalur ini berupa tanah berbatu tajam dan berdebu, membuat kendaraan roda dua sulit menjaga keseimbangan dan kendaraan roda empat bergerak sangat pelan, bahkan dapat tersangkut.
Ketika musim hujan tiba, kondisi berubah menjadi lumpur pekat yang licin dan berbahaya. Dalam situasi tertentu, akses desa dapat terputus total. Warga tidak memiliki pilihan selain berjalan kaki atau memikul barang dengan tandu.
Jarak tempuh menggambarkan kondisi tersebut secara tegas. Dari Sarae Ruma menuju jalan beraspal ideal terdekat membutuhkan sekitar empat jam perjalanan.

Dari Kerampi sekitar tiga jam, sedangkan dari Pusu dan Waduruka berkisar dua hingga dua setengah jam dalam cuaca baik. Data ini bukan sekadar informasi teknis, melainkan cermin keterputusan layanan dasar yang dialami masyarakat setiap hari.
Dampak paling serius salah satunya dapat terlihat pada layanan kesehatan. Ambulans desa memang tersedia, tetapi sering tidak berfungsi efektif sebagai kendaraan darurat karena akses jalan yang buruk, untuk mencapai Puskesmas di desa Kerumbu, warga dari Waduruka dapat menghabiskan waktu tiga hingga empat jam.
Apabila hujan turun, perjalanan bisa lebih lama bahkan terhenti sepenuhnya. Dalam keadaan kritis, ketika waktu menjadi faktor penentu hidup dan mati, akses jalan utama justru menjadi hambatan. Situasi ini menempatkan keselamatan warga pada ketidakpastian yang tidak seharusnya terjadi.
Selain itu, di tengah pemerintah pusat yang sedang mengembangkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk mendukung kecukupan gizi pelajar, menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Program yang penting dan strategis bagi masa depan Indonesia. Namun bagi Langgudu Selatan, muncul pertanyaan mendasar : bagaimana program makan bergizi dapat berjalan efektif apabila distribusi bahan pangan saja sulit dilakukan karena akses jalan yang buruk?
Program MBG tidak hanya soal menyediakan makanan di sekolah, tetapi memerlukan pasokan logistik yang teratur. Bahan pangan harus dibawa dari pasar atau pusat distribusi menuju sekolah, PAUD, hingga SMP.
Dengan kondisi jalan seperti sekarang, distribusi berpotensi terlambat, kualitas bahan menurun dan biaya transportasi meningkat tajam. Apabila biaya transportasi lebih tinggi dari nilai bahan pangan itu sendiri, efisiensi anggaran menjadi sulit dicapai.
Selain itu, kehadiran siswa juga terpengaruh. Pada musim hujan, banyak anak berjalan jauh dengan kondisi jalan berlumpur. Kehadiran yang tidak stabil tentu akan mengurangi dampak program MBG di sekolah.
Bung Hatta pernah mengingatkan, “Keadilan sosial tidak boleh hanya menjadi kalimat, tetapi harus menjadi keadaan yang dapat dirasakan rakyat.” Sementara Gus Dur menyatakan “bahwa negara harus hadir terutama bagi mereka yang berada paling jauh dari pusat kekuasaan.”
Pesan ini sangat relevan bagi Langgudu Selatan. Warga tidak menolak program. Mereka hanya menuntut prasyarat agar program itu benar-benar sampai.
Secara konstitusional, negara berkewajiban hadir. Pasal 34 UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menempatkan penyediaan layanan dasar, termasuk infrastruktur transportasi, sebagai kewajiban pemerintah daerah.
Dengan demikian, perbaikan jalan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi, bukan sekadar proyek pembangunan.
Masyarakat Langgudu Selatan telah berulang kali menyampaikan aspirasi melalui musyawarah desa, forum kecamatan, hingga aksi demonstrasi, namun belum menghasilkan kebijakan konkret. Aspirasi tersebut bukan tuntutan berlebihan, melainkan hak dasar sebagai warga negara yang berpartisipasi dalam pemilu, membayar pajak dan menjalankan kewajiban sosial.
Karena itu, langkah yang paling mendesak adalah memprioritaskan pembangunan jalan di Langgudu Selatan : mulai pengaspalan jalan, karena setelah fondasi infrastruktur tersedia, maka layanan Kesehatan, Pendidikan dan Perekonomian hingga program Makan Bergizi Gratis akan berjalan lebih efektif dan tepat sasaran. Tanpa akses, tidak ada pelayanan. Tanpa pelayanan, tidak ada keadilan.
Kini, pertanyaannya sederhana : berapa lama lagi Langgudu Selatan harus menunggu?
Sebab, kehadiran negara paling nyata terasa ketika hak dasar masyarakat dipenuhi. Pembangunan jalan menuju Langgudu Selatan bukan sekadar proyek, tetapi bentuk penghormatan terhadap martabat warga sebagai sesama anak bangsa.
Oleh karena itu, kami mengundang dengan hormat Bupati dan Wakil Bupati Bima, Gubernur NTB, hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk melihat langsung kondisi jalan tersebut.
Rasakan debunya di musim kemarau dan lumpurnya di musim penghujan. Dari pengalaman itu, keputusan tidak memerlukan perdebatan panjang, yang dibutuhkan hanyalah keberpihakan.
*) Penulis adalah alumni Program Magister Administrasi Publik, Pascasarjana Universitas Islam Malang