PMII Kota Padang dalam Kabut Kepemimpinan: Saat Ketua PC Kehilangan Arah dan Amanah

Ahmad Fadly, Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Padang

Oleh: Ahmad Fadly*)

SUARAMUDA.NET., SEMARANG — Ada masa ketika sebuah organisasi tidak roboh karena serangan lawan, melainkan runtuh karena kecerobohan pemimpinnya sendiri. Maka inilah realita yang sedang menimpa PMII Kota Padang.

Organisasi yang dulu menjadi rumah intelektual dan benteng moral pelajar Islam, kini justru terjebak dalam kabut kepemimpinan yang membingungkan, kabut yang diciptakan oleh ketua cabang sendiri.

Ketua PC PMII Kota Padang hari ini lebih banyak sibuk dengan citra dan gengsi jabatan, sementara substansi kepemimpinan ia abaikan. Suara kader diabaikan, rapat-rapat strategi tidak pernah hidup, laporan kinerja tidak pernah terbuka, dan komunikasi organisasi membeku tanpa arah.

Ia lebih tampak seperti seremonial pejabat daripada pemimpin gerakan. Di hadapan kader, ketua seolah-olah menjauh, seakan-akan tanggung jawab hanyalah milik mereka yang berada di bawah, bukan dirinya yang berada di puncak struktur.

Padahal, jabatan ketua bukan simbol kehormatan, tapi beban moral dan sejarah. Ketika seseorang diberi amanah oleh kader, ia sedang dipercaya untuk menegakkan nilai, menjaga arah, dan melanjutkan cita-cita pergerakan.

Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya, ketua PC lebih banyak diam ketika kader gelisah, menghindar ketika menuntut transparansi, dan bersembunyi di balik alasan ketika ditanya soal kinerja.

Krisis di tubuh PMII Kota Padang ini bukan sekedar lemahnya sistem administrasi, melainkan krisis integritas dan moral kepemimpinan.

Dalam pandangan Max Weber, legitimasi seorang pemimpin lahir dari legalitas, kharisma moral, dan rasionalitas tindakan. Ketika tiga hal ini hilang, kepemimpinan berubah menjadi ilusi-kursi yang terlihat berisi, tapi sesungguhnya kosong.

Itulah yang kini tampak jelas di tubuh PMII Kota Padang. Pemimpin yang hadir hanya di nama, tapi absen dalam kerja.

Kader di rayon dan komisariat kini hanya menjadi saksi dari gambaran organisasi yang dulu disegani. Tak ada arah gerak, tak ada ruang partisipasi, dan tak ada tanda bahwa organisasi ini masih hidup di bawah kepemimpinan yang sah.

Ketua PC PMII Kota Padang seolah lupa bahwa jabatan itu bukan warisan, bukan milik pribadi, dan bukan tempat berlindung dari kritik. Ia adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan kader dan sejarah.

Maka, seruan agar Ketua PC PMII Kota Padang diturunkan bukan sekadar kemarahan sesaat. Ini adalah panggilan moral dari kader yang muak melihat organisasi kehilangan arah.

Dalam logika pergerakan, pemimpin yang gagal membaca situasi, tidak mampu menggerakkan barisan, dan menutup ruang kaderisasi harus segera diganti, bukan demi balas dendam, tapi demi menjaga kehormatan organisasi.

PMII bukan milik satu orang. Ia adalah rumah besar perjuangan yang dibangun dengan darah, pikiran, dan semangat kader dari generasi ke generasi.

Jika seorang ketua sudah tak lagi menjaga rumah itu, maka kewajiban kader adalah menyelamatkannya, meski harus menurunkan pemimpin yang lalai.

Menumbangkan pemimpin yang gagal bukan bentuk penghinaan, tetapi bentuk tanggung jawab intelektual dan moral.

Kader PMII Kota Padang harus berani berpikir. Kepemimpinan yang tidak transparan, tidak komunikatif, dan tidak memiliki arah perjuangan tidak layak dipertahankan.

Sebab menghormati pemimpin yang berprestasi jauh lebih berbahaya daripada mengganti pemimpin yang gagal. Diam di tengah kebobrokan bukan bentuk kesetiaan, melainkan pengkhianatan terhadap nilai dasar pergerakan.

PMII lahir dari semangat melawan kebekuan dan ketidakadilan. Maka membiarkan kepemimpinan yang mandek, bisu, dan tak bertanggung jawab sama saja dengan membunuh jati diri pergerakan itu sendiri.

Kota Padang membutuhkan pemimpin yang hadir untuk bekerja, bukan sekadar duduk di kursi sambil menjaga status.

Sudah cukup diam. Saatnya kader bersuara lantang dan jujur bahwa PMII Kota Padang harus dibersihkan dari kepemimpinan yang gagal. Karena marwah organisasi ini jauh lebih penting daripada kenyamanan seorang ketua yang tak lagi mampu memimpin! (Red)

*) Penulis: Ahmad Fadly, Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Padang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like