
Oleh: Alfonsius Rodriques Tuba Kolin*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di sebuah warung kopi, aku melihat dua orang sedang berdebat dengan argumen yang begitu panas. Salah satu menunjukkan video yang dibuat AI, wajah seorang pesohor dengan sempurna dipasangkan pada tubuh penari.
“Luar biasa!” katanya, matanya berbinar. Yang lain menggeleng, “Ini sangat berbahaya. Sebab kedepannya kita tidak bisa lagi percaya dengan apa yang kita lihat.” Percakapan itu, dalam versi yang berbeda, katanya sedang terjadi di mana-mana.
Itulah wajah perkembangan AI saat ini: sebuah teknologi yang hadir bukan dengan gemuruh, tetapi dengan desiran halus yang merasuk ke setiap celah kehidupan kita.
Kita semua sedang menjalani eksperimen sosial terbesar abad ini, dan perasaan kita campur aduk. Di satu sisi, ada euforia yang tak terbendung. Alat yang dulu cuma ada di film fiksi ilmiah, kini ada di genggaman.
Saya sendiri kerap tercengang saat AI membantu merapikan draft tulisan yang berantakan atau menghasilkan ilustrasi untuk presentasi dalam hitungan detik. Rasanya ajaib. Ada daya kreasi yang seolah-olah tak terbatas.
Tapi, di balik keajaiban itu, ada kegelisahan yang sama manusiawinya. Ini bukan lagi soal robot mengambil alih pekerjaan buruh pabrik—itu cerita lama. Sekarang, AI mulai menyentuh ranah yang kita anggap sebagai “wilayah manusia” sejati: kreativitas, nalar, dan intuisi.
Bayangkan seorang penulis lepas yang bergulat dengan kata-katanya. Kini, dengan beberapa perintah, AI bisa menghasilkan artikel yang cukup bagus.
Atau seorang ilustrator yang menghabiskan berminggu-minggu untuk mengasah gaya khasnya, tiba-tiba harus bersaing dengan mesin yang bisa meniru puluhan gaya dalam semenit.
Kecemasan ini nyata. Ini soal identitas dan harga diri. Bukan cuma “kehilangan pekerjaan,” tapi lebih dalam: “apakah keahlian saya masih ada harganya?”
Lalu ada soal kebenaran. Dunia maya kita sudah lama dipenuhi misinformasi. Kini, dengan AI generatif, kita memasuki era “post-truth” tingkat lanjut.
Ketika suara seseorang bisa dipalsukan dengan sempurna untuk mengucapkan hal yang tidak pernah dia katakan, atau sebuah video peristiwa fiktif terlihat nyata, pada apa lagi kita bisa berpegang?
Kepercayaan, fondasi dari semua hubungan sosial—dengan media, dengan institusi, bahkan dengan sesama—menjadi rapuh. Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Larut dalam kekhawatiran atau menutup mata dan menikmati saja kehebatannya?
Saya kira, pilihannya ada di tengah. Kita perlu mengakui bahwa rasa cemas itu wajar. Itu adalah alarm internal yang mengatakan bahwa sesuatu yang besar sedang berubah.
Daripada panik, kegelisahan ini harus kita alihkan menjadi kewaspadaan dan keinginan untuk beradaptasi.
Mungkin kunci menghadapi zaman AI justru adalah dengan menjadi lebih manusiawi. Mesin mungkin bisa menulis, tetapi apakah ia bisa merasakan empati yang tulus dari sebuah cerita?
Mesin bisa menganalisis data, tetapi apakah ia memiliki intuisi atau “firasat” yang sering kali tepat dalam mengambil keputusan rumit?
Kemampuan untuk berkolaborasi, berempati, berpikir kritis, dan beretika—itulah yang justru akan menjadi nilai tambah kita.
Pada akhirnya, AI hanyalah alat. Seperti pisau, bisa untuk memotong sayuran atau melukai orang. Pertanyaannya bukan pada pisaunya, tapi pada niat dan kebijaksanaan orang yang memegangnya.
Revolusi ini bukan tentang manusia melawan mesin. Ini tentang kita, sebagai manusia, yang harus memutuskan: nilai-nilai apa yang ingin kita pertahankan di tengah gelombang perubahan yang tak terelakkan ini?
Kita harus aktif membentuk masa depan itu, bukan sekadar menjadi penonton yang pasif. Mari kita bicarakan, kita perdebatkan, dan kita atur bersama. Karena masa depan dengan AI yang kita inginkan, haruslah masa depan yang tetap manusiawi. (Red)
*) Alfonsius Rodriques Tuba Kolin, Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere, Flores, NTT