Ingat, DPR Itu Karyawan Rakyat Bukan Bos!

POV: Rapat anggota DPR RI (gambar: pinterest)

Oleh: Dziki Fajar Alfian*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Bayangkan ini, seorang anggota DPR Indonesia duduk di kursi empuk Senayan dengan gaji dan tunjangan yang totalnya Rp104 juta per bulan. Sementara itu, rata-rata UMR di Indonesia hanya Rp3,7 juta.

Artinya, pendapatan DPR 27 kali lipat pendapatan rakyat biasa. Kalau rakyat cuma bisa makan pecel, wakil rakyat bisa makan pecel sekaligus sewa chef pribadi.

Kalau kita melirik tetangga, perbandingannya lebih masuk akal. Di Malaysia, gaji anggota parlemen sekitar Rp67,2 juta, dengan UMR Rp6,4 juta, rasio 10,5x lipat.

Di Filipina, legislator mendapat Rp32 juta, dengan rata-rata pendapatan rakyat Rp5,6 juta, rasio 5,7x lipat. Ketimpangan di Indonesia jauh lebih ekstrem daripada negara tetangga dan fakta ini bukan sekadar angka: ini realitas yang membentuk rasa ketidakadilan rakyat.

Ketimpangan yang Terasa, Kemarahan yang Meluap

Fenomena demonstrasi masif yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai kota Indonesia bisa dibaca sebagai luapan frustrasi kolektif. Rakyat kecewa bukan sekadar karena kebijakan tertentu, tapi karena wakil yang mereka pilih lupa siapa yang memberi mandat.

Mereka duduk di kursi legislatif bukan untuk menegakkan aspirasi rakyat, tapi kadang untuk agenda pribadi atau kepentingan modal politik.

Bayangkan seorang mahasiswa yang harus membayar kos tinggi dan transportasi mahal, seorang buruh yang upahnya pas-pasan, atau pedagang kecil yang terpukul oleh kebijakan harga bahan pokok.

Saat mereka melihat wakil rakyat yang duduk nyaman dengan gaji puluhan kali lipat UMR, wajar jika kemarahan itu meledak. Demonstrasi ini bukan sekadar “kerusuhan,” tapi suara rakyat yang merasa sistem demokrasi tidak berpihak pada mereka.

Money politics, framing di media sosial, dan janji-janji manis membuat rakyat “terbius” saat pemilu. Akibatnya, ketika realitas politik menyentuh kehidupan sehari-hari kebijakan kontroversial, anggaran boros, atau proyek yang tidak transparan rakyat bereaksi dengan demonstrasi besar-besaran.

DPR: Karyawan Rakyat, Bukan Bos

Di tengah semua ketegangan ini, ada satu istilah yang mungkin bisa mengubah perspektif: “DPR adalah karyawan rakyat.”Mereka duduk di kursi Senayan bukan untuk menonjolkan status sosial, tapi untuk menjalankan amanah.

Bayangkan seorang karyawan yang gajinya dibayar majikan jutaan per bulan tapi pekerjaannya hanya untuk kepentingan pribadi absurd, bukan?

Kalau kita mulai menegaskan bahwa DPR hanyalah karyawan, jarak sosial dan elitisme bisa dikurangi dan bisa terdengar egaliter. Mereka harus ingat! gaji dan tunjangan berasal dari pajak rakyat, mandat duduk di kursi legislatif adalah suara rakyat, dan integritas kerja harus tercermin dalam kebijakan yang nyata.

Selain itu, menyebut DPR sebagai karyawan rakyat juga bisa mengubah budaya pengawasan publik. Rakyat akan lebih sadar bahwa mereka punya hak untuk menegur, memprotes, bahkan mengganti wakil yang gagal menjalankan amanah. Demonstrasi dan kritik publik bukanlah ancaman, tapi mekanisme kontrol demokrasi yang sehat.

Refleksi Kolektif: Literasi Politik sebagai Kunci

Tulisan ini bukan sekadar sindiran, tapi ajakan sadar: literasi politik itu penting. Jangan sampai pemilu hanya jadi ritual amplop dan janji palsu. Pilih wakil rakyat dengan pertimbangan gagasan, integritas, dan kemampuan untuk memperjuangkan rakyat bukan karena modal kampanye atau popularitas semu.

Demokrasi memang mahal, tapi mahalnya tidak harus untuk memperkaya elite politik. Kita, rakyat, adalah bos. DPR adalah karyawan. Ingat itu, gunakan suara serta kesadaran politik kita sebagai alat pengontrol yang sesungguhnya.

Jika rakyat sadar akan literasi politik, praktik money politics bisa ditekan. Rakyat akan menilai calon legislatif berdasarkan track record, visi, dan kontribusi nyata, bukan amplop atau gimmick sosial media.

Demonstrasi yang muncul bukan sekadar kemarahan, tapi bisa menjadi energi untuk memperkuat demokrasi, bukan hanya gejolak sesaat.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat bukan tentang kursi empuk atau tunjangan mewah, tapi tentang wakil yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Dan rakyat, dengan kesadaran politik yang matang, bisa memastikan hal itu terjadi. (Red)

*) Dziki Fajar Alfian, alumnus Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like