Menanti Keteladanan Prabowo dalam Mengurai Konflik

P. Nugraha, pegiat SWOT Institut

Oleh: P. Nugraha*)

SUARAMUDA.NET., SEMARANG – Charles Tilly dalam Contentious Performances (2008) menyatakan ”the use of disruptive techniques to make a political point, or to change government policy”.

Penggunaan teknik-teknik disruptive (seperti aksi demonstrasi, pemogokan, pemberontakan atau revolusi) adalah upaya untuk menyampaikan maksud politik atau upaya untuk mengubah kebijakan pemerintah.

Dalam konsepsi lain misalnya Tarrow (1998) meyatakan lebih awal bahwa “aksi” berubah menjadi perseteruan bila dipergunakan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses regular ke institusi-institusi.

Dalam perkembangan sepekan terakhir di Indonesia, aksi bermula di hari Senin (25/8) di depan Gedung DPR/MPR RI yang mengusung 9 tuntutan dengan perhatian utama yaitu pada kenaikan tunjangan DPR hingga menuntut pembubaran DPR.

Kemudian masih di Gedung yang sama, di hari Kamis (28/8) massa kembali hadir untuk melakukan aksi demonstrasi.

Massa yang datang berasal dari banyak kalangan termasuk aktivis, serikat buruh, perorangan, pelajar, pedagang, hingga ojek online, menggugat DPR dan menyuarakan penolakan terhadap sejumlah kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran yang dianggap merugikan masyarakat.

Di sisi lain dalam menghadapi massa aksi, ternyata sikap represif aparat dalam membubarkan massa tidak kunjung berubah, singkatnya di kawasan Pejompongan, sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob yang dikerahkan untuk membubarkan massa justru menabrak seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.

Tidak menunggu lama seperti bensin yang disiramkan ke bara sehingga ”kebakaran” besar tidak dapat dihindarkan.

Mulai dari radio, televisi dan media sosial ramai mendiskusikan rantis yang tidak hanya membunuh suara kritis, tapi juga rantis membunuh dengan sadis, sebagaimana video-video viral di media sosial menunjukkan rantis melaju kencang, menabrak korban, sempat berhenti, namun kemudian melindas tubuhnya kembali dan tanpa hati nurasi kemudian kabur.

Dari situ muncul suara-suara ketidakpuasan dan protes-protes di sana sini. Lalu, demonstrasi besar-besaran terjadi dan meluas hingga ke penjuru negeri.

Kerusakan halte, kantor polisi di Jakarta hingga kantor DPR di daerah menjadi sasaran kemarahan masyarakat, sudah tidak bisa terhitung kerugian materil dan immateril termasuk korban jiwa.

Awal Sebuah Gerakan Sosial

Teknik-teknik yang disebut Tilly bukanlah gerakan sosial tetapi merujuk pada sejumlah literatur tentang politik perseteruan menuliskan bahwa aksi ini dapat dikatakan sebagai sebuah tahapan awal kemunculan sebuah gerakan.

Karena memang nyaris tidak ada suara tuntutan bubarkan DPR atau turunkan Prabowo-Gibran disepanjang aksi Jumat-Sabtu, jelas sekali, aksi ini merupakan reaksi atas sebuah represifitas yang menewaskan Affan, suara kemarahan atas kezaliman.

Menelisik kasus ini, tanggung jawab dan keteladanan adalah kunci memulihkan keadaan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Presiden selaku pimpinan tertinggi harus memberikan contoh terbaik terutama kepada anak buahnya di pihak kepolisian untuk bertanggung jawab atas peristiwa di Kamis malam tersebut.

Gerakan sosial bukan sebuah ancaman apalagi harus diberantas seakan massa adalah musuh yang harus diperangi. Sekali lagi megutip Tilly bahwa gerakan sosial merupakan aksi tindakan sebuah “rangkaian intraksi berkelanjutan” antara otoritas dengan penentangnya yang membuat tuntutan-tuntutan berdasarkan kepentingan konstituen dengan preferensi khusus.

Maka dengan kesadaran ini, gerakan sosial harus terus bersemai yang benihnya harus terus ditabur ke dalam tiap-tiap faset sejarah untuk menuntun arah perubahan Indonesia yang lebih baik.

Refleksi dan Evaluasi

Tentu selaku masyarakat tidak dapat menuntut lebih seperti pencopotan jabatan atau pembubaran institusi, tetapi dengan kehadiran Presiden menjadi wujud keberpihakan negara kepada gerakan rakyat.

Tulisan ini secara umum menemukan keadaan tindakan perlawanan yang terjadi pasca tewasnya Affan—-hal yang harus dijadikan refleksi ialah sikap represif yang ajek dijadikan wujud dari perwarisan di tahun-tahun sebelumnya oleh aparat harus menjadi atensi.

Yang harus diyakinkan kepada pihak pemerintah Prabowo-Gibran, bahwa perkembangan dan perubahan-perubahan yang sangat cepat di Indonesia bahkan di dunia tidak bisa dilepas dari sebuah gerakan sosial, dari gerakan pra kemerdekaan dan kemerdekaan, hingga pasca kemerdekaan sampai dengan reformasi hingga kita saat ini, semuanya tidak luput dari sejarah gerakan.

Oleh karenanya, hal yang perlu dilakukan saat ini selain mendorong proses penyelesaian masalah tewasnya Affan termasuk dengan sanksi bagi para pelaku, ialah memperkuat kapasitas para pelaku penyelenggara negara dalam mendinginkan suasana kebatinan masyarakat.

Ada beberapa catatan penting dalam merumuskan perdamaian dengan mengupayakan pemanfaatan kearifan. Dan tidak kalah penting pemerintah bersama DPR harus segera berubah. Pun dengan aparat tentu harus merubah pendekatannya dalam mengatasi para demonstrasi.

Sekali lagi publik menanti keteladanan Prabowo selaku pimpinan tertinggi di republik ini. Jika tidak, hari-hari ke depan akan sulit terkendalikan. Kerusuhan dan kerusakan akan lebih meluas, dan yang rugi tentunya bangsa dan negara kita sendiri. (Red)

*) P. Nugraha, pegiat SWOT Institut

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like