DPR Bergoyang, Rakyat Tercekik: Parlemen Kalah Standar

Tangkapan layar anggota DPR saat berjoget usai sidang MPR (sumber: TikTok)

Oleh: Alialudin Hamzah*)

SUARAMUDA.NET, JAKARTA — Kita baru saja menyaksikan Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025, di mana eksekutif dan legislatif menyampaikan berbagai catatan, rekomendasi, dan laporan kinerja di hadapan rakyat Indonesia dalam forum lintas lembaga tertinggi negara.

Sayangnya, sidang itu justru diwarnai pertunjukan sikap kekanak-kanakan sejumlah peserta dengan aksi di luar tradisi persidangan lembaga negara.

Aksi dimaksud ialah joget-joget di Gedung DPR RI. Para dewan bergaya artis parlemen itu menari di rumah rakyat dengan keceriaan yang dipamerkan seolah menjadi sandiwara politik, sebagaimana kerap dipertontonkan anggota DPR dari tahun ke tahun.

Rekaman yang beredar memperlihatkan legislator bergoyang mengikuti lagu daerah seperti Sajojo dan Gemu Fa Mi Re pada penutupan Sidang Tahunan MPR 2025.

Ketua MPR Ahmad Muzani menambah daftar catatan buruk dengan menyebutnya sebagai “reaksi spontan atau relaksasi”, sementara publik menilai itu sebagai sikap tidak peka terhadap kondisi rakyat.

Fenomena aneh semacam ini bukan hal baru di Senayan. Rekam jejak buruk parlemen kerap jadi sorotan publik seperti anggota tidur saat sidang, keputusan ABS (Asal Bapak Senang), hingga keterlibatan korupsi.

Setidaknya 24 anggota DPR/DPRD ditetapkan KPK sebagai tersangka sepanjang 2023–2024, dari kasus bansos, suap tambang, hingga proyek infrastruktur.

Apakah parlemen kini hanya menjadi ruang subur praktik rente dan oligarki, yang menjawab kritik dengan tradisi joget, bukan dengan debat substansial?

Padahal, biaya rapat DPR tidak kecil. Anggaran DPR 2024 mencapai Rp 7,7 triliun, termasuk biaya sidang, perjalanan dinas, dan tunjangan. Artinya, setiap rapat minim kualitas itu dibiayai dengan uang rakyat yang fantastis.

Ironisnya, hasil sidang justru sering melahirkan produk hukum bermasalah, seperti UU Cipta Kerja (2020) yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi “inkonstitusional bersyarat” atau UU Minerba (2020) yang memberi keleluasaan besar kepada korporasi tambang, bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.

Fungsi pengawasan DPR pun terus melemah. Dalam pengelolaan sumber daya, DPR lebih berpihak pada korporasi ketimbang rakyat. Dalam keuangan negara, temuan BPK jarang ditindaklanjuti. Dalam penegakan hukum, revisi UU KPK 2019 justru melemahkan lembaga antirasuah.

Bahkan dalam isu pangan, DPR gagal menahan kenaikan harga beras yang menurut BPS menjadi penyumbang inflasi terbesar pada 2024–2025, sementara rakyat semakin terhimpit.

Dengan jejak demikian, DPR makin diragukan sebagai lembaga representatif. Alih-alih menjadi pengimbang eksekutif, keberadaan DPR kerap hanya menjadi formalitas kebijakan pemerintah sekaligus lahan subur praktik korupsi politik. Joget-joget viral hanyalah puncak gunung es dari krisis legitimasi parlemen.

Sebagian orang mungkin melihatnya sekadar hiburan, pelepas penat setelah sidang panjang. Namun di tengah kemiskinan absolut yang masih menjerat 23,85 juta jiwa, pengangguran jutaan orang, dan harga pangan yang terus mencekik, momen itu terbaca sebagai simbol jarak kelas elite yang bersenang-senang di atas penderitaan rakyat.

Jika dibandingkan dengan parlemen negara lain seperti Inggris, Jepang, Jerman, hingga China, DPR kita jauh tertinggal dalam etika dan kewibawaan Pejabat dan lembaganya.

Di Inggris misalnya, House of Commons tidak memperbolehkan tepuk tangan sembarangan oleh karena setiap sidang adalah ritual sakral, ruang simbolik yang dijaga dengan ketat.

Di China, National People’s Congress menuntut disiplin mutlak, ruang sidang adalah panggung legitimasi negara, di mana spontanitas ala joget pasti dianggap pelanggaran serius. Di Jepang, Diet menjaga khidmat sidang hingga detik terakhir, debat paling sengit pun tetap formal dan tertib.

Di Rusia, Federal Assembly menegakkan standar simbolik yang ketat, dimana setiap gestur anggota parlemen adalah pesan politik. Dan di Jerman, Bundestag menekankan etika parlemen hingga setiap momen sidang menjadi formalitas yang disiplin, simbol integritas legislatif yang tidak boleh diganggu oleh kelucuan pribadi.

Sementara di Indonesia justru berubah jadi panggung hiburan yang memalukan terutama ditengah masyarakat menghadapi beban hidup yang makin tinggi dan kompleks.

Apakah DPR masih layak disebut rumah rakyat jika yang dipertontonkan hanyalah pesta simbolik di atas penderitaan rakyat kecil? Ataukah demokrasi kita memang sedang kehilangan substansinya? (Red)

*) Alialudin Hamzah, Ketua Umum Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like