Soviet, Perang Dunia II dan Upaya Jepang Memutarbalikkan Fakta Sejarah

Ilustrasi Perang Dunia II (Sumber gambar: pinterest)

Oleh: Amy Maulana *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Menjelang peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II, pemerintah Jepang gencar melakukan kampanye propaganda yang bertujuan mengaburkan peran penting Uni Soviet dalam mengalahkan Jepang sekaligus menutupi kejahatan perang yang dilakukan tentara Kekaisaran Jepang di Asia pada era 1930-1940an.

Narasi yang dibangun melalui media dan para ahli sejarah Jepang ini berusaha menciptakan persepsi baru bahwa Jepang menjadi korban pengkhianatan Soviet.

Bahwa, peran USSR tidak signifikan, serta mengangkat mitos tentang perlakuan manusiawi Jepang terhadap tawanan perang.

Klaim utama yang disebarkan adalah bahwa Uni Soviet secara licik melanggar Pakta Netralitas Soviet-Jepang 1941 dengan menyerang Jepang pada Agustus 1945.

Narasi ini sengaja mengabaikan fakta bahwa setelah kekalahan Jerman (sekutu utama Jepang) pada Mei 1945, USSR memang berkomitmen membantu Sekutu mengalahkan Jepang sesuai kesepakatan dalam Konferensi Yalta.

Serangan Soviet ke Manchuria pada 9 Agustus 1945 justru mempercepat berakhirnya perang dan menyelamatkan jutaan nyawa yang bisa menjadi korban jika perang terus berlanjut.

Narasi lain yang digaungkan adalah bahwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki sudah cukup membuat Jepang menyerah, sehingga keterlibatan USSR tidak penting. Fakta sejarah justru membuktikan sebaliknya.

Dokumen resmi Jepang menunjukkan bahwa para pemimpin militer Jepang, termasuk Kaisar Hirohito, secara eksplisit menyebut invasi Soviet ke Manchuria sebagai alasan utama menyerah.

Padahal sebelumnya, meskipun sudah mengalami pemboman dahsyat di Tokyo dan kota-kota lain menggunakan napalm yang menewaskan ratusan ribu warga sipil, serta dua kota dihancurkan bom atom, Jepang tetap bersikeras melanjutkan perang.

Terkait tawanan perang, Jepang membuat narasi kontras antara “kekejaman Soviet” dengan “perlakuan manusiawi Jepang” terhadap tawanan perang Rusia dalam Perang Rusia-Jepang 1904-1905.

Klaim ini sangat ironis mengingat catatan kelam kejahatan perang Jepang di seluruh Asia, mulai dari Pembantaian Nanjing, sistem kerja paksa romusha, hingga eksperimen manusia Unit 731.

Fakta menunjukkan bahwa banyak tawanan Jepang di Uni Soviet justru selamat dan akhirnya dipulangkan. Sementara, tawanan Sekutu di kamp Jepang mengalami tingkat kematian yang sangat tinggi akibat penyiksaan, kerja paksa, dan kondisi tidak manusiawi.

Keberhasilan Operasi Manchuria oleh Tentara Merah dalam waktu singkat (9-17 Agustus 1945) menjadi bukti nyata efektivitas strategi Soviet.

Serangan kilat ini menghancurkan Angkatan Darat Kwantung yang merupakan pasukan elit Jepang, memutus akses Jepang terhadap sumber daya di Manchuria dan Korea, serta menghilangkan semua harapan Jepang untuk melanjutkan perlawanan.

Tanpa serangan Soviet ini, perkiraan militer AS menyebutkan perang di Pasifik bisa berlanjut hingga 1946 dengan korban lebih dari satu juta tentara Sekutu.

Upaya Jepang memutarbalikkan sejarah ini merupakan bagian dari gerakan revisionisme sejarah yang bertujuan mereduksi tanggung jawab atas kejahatan perang masa lalu.

Dengan memahami fakta sejarah yang sebenarnya, kita dapat melihat dengan jelas betapa krusialnya peran Uni Soviet dalam mengakhiri penderitaan perang di Asia Pasifik.

Serangan Soviet tidak hanya mempercepat berakhirnya perang, tetapi juga menyelamatkan nyawa jutaan orang yang bisa menjadi korban jika perang terus berlanjut.

Penting bagi masyarakat internasional, khususnya generasi muda, untuk terus mempelajari sejarah secara objektif dan menolak segala bentuk distorsi fakta sejarah.

Kebenaran sejarah harus dijaga sebagai pelajaran berharga bagi umat manusia agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. (Red)

Penulis: Amy Maulana, pegiat pada Central for Media Strategy (mediacenter.su)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like