IKN = Hambalang Part 2?

Mutia Dwi Nourisma, peneliti mahasiswa pada Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan Demokrasi Fakultas Hukum UNESA

Oleh: Mutia Dwi Nourisma*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Persoalan Ibu Kota Nusantara (IKN) dimulai dari proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022. UU IKN ini disahkan dengan proses yang terburu-buru dan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang cukup.

Bahkan, sebagian besar peserta sidang saat itu hadir secara online, yang menimbulkan pertanyaan soal keabsahan sidang dan kuorum pengambilan keputusan.

Padahal, undang-undang sebesar ini seharusnya dibahas secara menyeluruh, melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Masyarakat harus dilibatkan agar aturan itu sah dan diterima secara luas.

Kita paham bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi prinsip partisipatif dan transparan. Apalagi, proyek sebesar IKN bukan hanya berdampak pada satu daerah, tapi pada masa depan bangsa.

Sayangnya, proses hukum yang terburu-buru ini justru menjadi titik awal berbagai persoalan lanjutan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 bukan hanya sekadar dasar hukum, tapi ini juga berdampak secara politik, sosial, serta ekonomi.

Secara politik, kita bisa lihat bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto masih belum menunjukkan komitmen yang kuat terhadap kelanjutan proyek IKN. Padahal proyek ini sudah punya dasar hukum, sudah ada undang-undangnya.

Kalau aturan dibentuk terburu-buru, ada risiko besar, ketika pemerintah berganti, bisa saja proyek ini dihentikan karena tidak punya dukungan kuat dari publik, jika Presiden Prabowo masih setengah hati terkait IKN ini maka yang terjadi adalah akan berpotensi mangkrak di tengah jalan, sama seperti proyek Hambalang yang gagal di era Presiden SBY.

Dari sisi ekonomi, pemerintah telah menggelontorkan dana APBN dalam jumlah besar, namun hingga saat ini progres di lapangan masih belum signifikan.

Bahkan pada tahun 2025, anggaran yang semula dialokasikan melalui Kementerian PUPR sebagian ditahan pencairannya oleh Kementerian Keuangan.

Total anggaran yang diblokir mencapai hampir Rp15 triliun. Meski pemerintah kemudian mengalokasikan dana baru sebesar Rp48,8 triliun untuk IKN dalam lima tahun ke depan, dan menegaskan bahwa proyek tetap berjalan.

Pemblokiran anggaran bukan hanya soal teknis keuangan. Ini menandakan bahwa ada masalah koordinasi antar lembaga negara, atau bahkan ketidakyakinan terhadap kelayakan proyek ini.

Selain itu, pemblokiran ini juga berdampak langsung pada kelanjutan proyek fisik di lapangan, termasuk potensi munculnya sengketa hukum akibat kontrak yang tertunda atau tidak berjalan.

Dari sisi hukum, prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi tampaknya dikesampingkan. Publik tidak memperoleh akses informasi yang cukup mengenai anggaran, progres, maupun manfaat jangka panjang proyek ini.

Padahal, sebagai proyek strategis nasional, keterbukaan menjadi syarat mutlak. Minimnya pengawasan dapat membuka celah penyimpangan, baik dalam bentuk korupsi maupun kegagalan kontraktual akibat tertundanya pembangunan fisik.

Kita belajar bahwa pembangunan harus berjalan beriringan dengan prinsip hukum: akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi. Hukum tidak boleh dikesampingkan demi mengejar target politik atau ambisi sesaat.

IKN adalah proyek masa depan bangsa. Tapi masa depan itu hanya akan terwujud jika dibangun di atas dasar hukum yang kuat, proses yang terbuka, dan perencanaan yang bertanggung jawab.

Jika tidak, bukan tidak mungkin IKN akan menjadi “Hambalang Part 2”, hanya dalam skala yang jauh lebih besar.

Jika kita menengok ke belakang semua kejadian tersebut di atas tak jauh beda dengan kebijakan rezim sebelumnya yakni era presiden SBY yang mencanangkan proyek P3SON (Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional) di Hambalang—–proyek ambisius di masanya yang menelan biaya sekitar Rp2,5T, dan digadang-gadang menjadi pusat pelatihan atlet nasional.

Namun pada kenyataannya menjadi lahan bancakan antara penguasa dan pengusaha. Dengan modus memanipulasi tender, anggaran digelembungkan, juga ada kolusi.

Semua ini berulang ulang terjadi karena kebijakan yang serampangan, banyak pejabat yang tidak amanah sesuai fungsinya, rusaknya sistem kontrol, banyak ilmuwan profesor doktor yang hanya mementingkan perutnya sendiri, tak punya kepekaan sosial, dan rasa nasionalismenya rendah.

Agar proyek IKN ini tidak menjadi “Hambalang Part 2” semua sistem perlu diperbaiki sesuai dengan UUD 45 dan cita-cita Negara Republik Indonesia yang adil dan makmur (sesuai dengan Pembukaan UUD 45).

Jadi semua aturan atau UU yang ada sekarang harus diaudit forensik untuk menentukan mana yang sesuai dan mana yang bertentangan dengan UUD.

Jika ada aturan yang bertentangan dengan prinsip keadilan atau semangat konstitusi, maka harus dikaji ulang atau bahkan dicabut. Selain itu, dalam rekrutmen pemimpin atau pegawai harus menjamin benar-benar yang berkualitas punya kapasitas, integritas, moralitas, dan nasionalisme yang tinggi. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya bisa sesuai dengan cita-cita berdirinya NKRI.

Sebagai mahasiswa, kita punya tanggung jawab untuk mengkritisi proyek-proyek seperti ini dengan pendekatan hukum, bukan sekadar emosional.

IKN bisa saja menjadi masa depan Indonesia, tapi masa depan itu hanya bisa tercapai jika dibangun di atas dasar hukum yang kuat, proses yang transparan, dan perencanaan yang matang. Tanpa pembenahan serius, proyek ini berisiko mengulang kegagalan masa lalu dalam skala yang jauh lebih besar. (Red)

*) Mutia Dwi Nourisma, peneliti mahasiswa pada Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan Demokrasi Fakultas Hukum UNESA

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like