
Oleh: Faiz Rafdillah*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Tanggal 31 Mei 2025 akan saya ingat sebagai momen yang menyakitkan di tengah niat ibadah.
Di sebuah hotel tempat saya menginap bernama Emaar Al Taqwa 206 sebagai jama’ah haji asal Indonesia, saya menyaksikan aparat kepolisian Arab Saudi menyergap tiga orang pekerja catering.
Mereka diperlakukan seolah-olah pelaku kriminal berbahaya hanya karena tidak memiliki tasreh, dokumen izin kerja lokal yang dikeluarkan otoritas Saudi.
Yang membuat miris adalah para pekerja ini bukan pekerja ilegal. Mereka bagian dari perusahaan lokal Saudi (syarikah) yang memang sudah menjalin kerja sama resmi dengan pemerintah Indonesia untuk melayani jamaah.
Ketika seseorang yang bekerja secara sah diperlakukan seolah diselundupkan, ada sesuatu yang sangat salah dalam sistem. Dan ketika itu dilakukan di depan jama’ah yang sedang beribadah, ada martabat bangsa yang dilukai.
Kejadian ini bukan insiden terisolasi. Sebelumnya, aparat Saudi bersama petugas medis mereka menyisir hotel-hotel jama’ah dan mempertanyakan kehadiran tenaga medis Indonesia yang mendampingi para jama’ah, dengan alasan bahwa mereka datang untuk ibadah, bukan bekerja.
Ini tentu kontradiktif dengan fakta bahwa mayoritas jamaah Indonesia adalah lansia dengan risiko kesehatan tinggi.
Jika memang tidak diperkenankan, kenapa larangan itu tidak disampaikan sejak tahap perizinan dan keberangkatan? Mengapa koordinasi yang sudah berjalan ditampik sepihak di lapangan?
Lebih lanjut, isu soal fasilitas kesehatan Indonesia di Mekkah pun memunculkan banyak tanda tanya. Meski Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) telah resmi dioperasikan kembali untuk musim haji 2025, jama’ah sempat menyaksikan pemberitaan seputar kendala operasional hingga adanya anggapan ketidakterbukaan dari otoritas lokal terhadap keberadaan fasilitas milik Indonesia.
Tidak ada pernyataan resmi yang menyebut bahwa “kami tidak mengundang kalian, kalian yang ingin datang ke sini”, tapi semangat koordinasi yang timpang dan perlakuan yang cenderung merendahkan terhadap kerja sama ini, sudah cukup untuk menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana sebenarnya posisi Indonesia di mata mereka.
Apa yang saya rasakan selama di lapangan sebagai jama’ah, adalah gejala sistemik. Ada yang keliru dalam tata kelola penyelenggaraan haji tahun ini. Sistem syarikah yang dibentuk oleh otoritas Saudi tidak menunjukkan kinerja profesional.
Koordinasi buruk, pelayanan tidak konsisten, dan informasi berubah-ubah. Bahkan skema perjalanan dari Arafah, Muzdalifah, ke Mina yang mestinya berjalan rapi, justru terasa seperti uji coba sistem baru tanpa kejelasan teknis.
Apakah ini efek dari ketidak-harmonisan internal elite Saudi? Ataukah semata karena komersialisasi ibadah yang kini mengaburkan makna pelayanan?
Birokrasi haji hari ini menyulitkan, bukan melayani. Dan ironisnya, hal ini menimpa jamaah Indonesia, yang adalah negara pengirim jamaah haji terbanyak di dunia.
Kita bukan tamu sembarangan. Kita adalah penyumbang devisa utama industri haji Saudi. Tapi apa yang kita dapat?
Perlakuan yang tidak hormat, sistem yang kacau, dan penghinaan terhadap para pekerja dan petugas Indonesia di lapangan.
Pemerintah Indonesia tidak boleh terus bersikap lunak. Kita tidak meminta keistimewaan, kita menuntut keadilan, profesionalisme, dan respek atas komitmen bilateral yang telah disepakati.
Jika Arab Saudi terus menerapkan pola sepihak, penuh arogansi, dan menyepelekan mitra seperti Indonesia, maka sudah saatnya pemerintah Indonesia menunjukkan sikap tegas.
Saya bahkan percaya bahwa moratorium pengiriman jamaah haji dan umrah selama lima tahun adalah opsi yang patut dipertimbangkan. Ini bukan keputusan emosional, tapi langkah strategis untuk mengembalikan marwah bangsa.
Dalam diplomasi, kadang diam dianggap tunduk. Dan jika terus begini, Indonesia akan terus diperlakukan sebagai “peserta pasar” alih-alih mitra setara.
Hari ini, 1 Juni, adalah Hari Lahir Pancasila. Di tengah kota suci Mekkah, saya menuliskan ini dengan kesadaran penuh bahwa nilai-nilai Pancasila tidak hanya berdiri di atas tanah air, tapi juga harus ikut berdiri di setiap langkah warga negara yang sedang mengibarkan kehormatan bangsanya di luar negeri.
Keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta ketuhanan yang menghargai manusia, semua sedang diuji dalam ibadah haji kita.
Saya berharap pemerintah Indonesia tidak hanya menjamin logistik dan teknis ibadah, tetapi juga melindungi martabat jamaah, petugas, dan seluruh warga negaranya.
Karena ibadah ini bukan sekadar rukun Islam kelima, tapi juga panggung diplomasi spiritual yang harus dijaga dengan kepala tegak dan sikap yang bermartabat. (Red)
*) Faiz Rafdillah, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta