
Oleh: Andri Rahman*)
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping di China, yang mencakup pembahasan klaim teritorial Laut Natuna Utara (LNU), menimbulkan kegelisahan yang mendalam baik di dalam negeri maupun di kawasan Asia Tenggara.
Dalam perspektif politik, MoU ini berpotensi menjadi titik balik bagi kedaulatan Indonesia dan hubungan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, serta menimbulkan dampak signifikan terhadap posisi Indonesia di panggung internasional.
Laut Natuna Utara adalah bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang secara hukum internasional, melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Namun, klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan, yang mencakup LNU, bertentangan dengan hukum internasional yang mengakui hak ZEE Indonesia.
Dengan menandatangani MoU yang membuka ruang untuk “membahas” klaim tersebut, Prabowo seolah memberi legitimasi pada klaim teritorial China yang tidak sah, yang bisa mengancam kedaulatan negara.
Politik luar negeri Indonesia yang seharusnya fokus menjaga kedaulatan nasional tampaknya bisa dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, terutama ekonomi.
Jika Indonesia menerima kesepakatan ini, negara tersebut bisa kehilangan posisi tawar dalam hal hak-haknya atas Laut Natuna Utara. Ini berpotensi menciptakan preseden berbahaya bagi penyelesaian sengketa teritorial di masa depan.
Menambah Ketegangan Regional?
Tindakan Prabowo juga dapat menambah ketegangan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di kalangan negara-negara ASEAN yang juga memiliki klaim atas Laut China Selatan. Malaysia, Vietnam, dan Filipina—negara-negara yang memiliki klaim bertentangan dengan China—akan melihat penandatanganan MoU ini sebagai langkah yang merusak solidaritas ASEAN.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar dan ekonomi terbesar di ASEAN, telah lama dianggap sebagai pemimpin yang dapat menyeimbangkan kepentingan kawasan. Jika Indonesia tampaknya lebih mendekat ke China, ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan di antara negara-negara tetangga.
Di sisi lain, ASEAN selama ini berupaya menjaga penyelesaian sengketa Laut China Selatan dengan cara damai dan berdasarkan hukum internasional. Langkah Indonesia yang menyetujui pembahasan klaim teritorial dengan China bisa mempersulit upaya ASEAN dalam menjaga prinsip ini.
“Penandatanganan MoU Prabowo dengan Jinping berpotensi menjadi kesalahan fatal bagi Indonesia, baik dari sisi politik domestik maupun internasional”
Indonesia yang memiliki peran penting dalam memastikan stabilitas kawasan, jika terus mendekat ke Beijing, bisa dianggap tidak lagi menjadi penyeimbang yang netral dalam konflik regional.
Penandatanganan MoU ini juga akan memengaruhi hubungan Indonesia dengan kekuatan global lainnya, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Amerika Serikat, yang selama ini mendukung Indonesia dalam menjaga kedaulatan atas Laut Natuna Utara, dapat menganggap langkah ini sebagai “pengkhianatan” terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang selama ini menjadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia.
Hubungan Indonesia dengan China memang memiliki sisi positif, terutama dalam bidang ekonomi. Namun, jika Indonesia dianggap lebih mendahulukan kepentingan ekonomi dengan China daripada mempertahankan kedaulatan teritorialnya, ini bisa merusak citra Indonesia sebagai negara yang tegas dalam menjaga integritas wilayahnya.
Keputusan ini akan menempatkan Indonesia dalam dilema geopolitik, di mana ia harus memilih antara mempererat hubungan dengan China atau mempertahankan posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum internasional.
Di dalam negeri, penandatanganan MoU ini bisa memicu reaksi negatif dari kelompok politik dan masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu kedaulatan dan nasionalisme.
Indonesia sudah lama menjaga garis keras dalam mempertahankan Laut Natuna Utara sebagai bagian dari ZEE-nya, dan langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip tersebut.
Politisi dan kelompok nasionalis mungkin akan menuduh pemerintah mengorbankan kepentingan bangsa demi keuntungan politik atau ekonomi tertentu, terutama terkait dengan kerjasama dengan China yang dikenal dengan ambisi ekspansionisnya di Laut China Selatan.
Selain itu, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan luar negeri ini bisa memperburuk polarisasi domestik. Pihak-pihak yang mendukung kedaulatan negara akan semakin memperkuat retorika nasionalisme.
Sementara pihak yang lebih pragmatis mungkin akan berfokus pada potensi keuntungan ekonomi jangka pendek. Ini dapat menciptakan ketegangan politik yang merugikan stabilitas internal negara.
Bargaining Politik dan Ekonomi: Antara Utang dan Kedaulatan
Salah satu alasan di balik keputusan ini mungkin terkait dengan keuntungan ekonomi yang dijanjikan China dalam bentuk investasi dan bantuan ekonomi. Namun, barter antara kedaulatan negara dan bantuan ekonomi ini dapat berisiko tinggi.
Dengan semakin banyaknya pinjaman atau investasi dari China, Indonesia bisa terjebak dalam perangkap utang yang membebani masa depan ekonomi nasional.
Seperti yang terjadi di beberapa negara lain yang terlibat dalam inisiatif Belt and Road, ketergantungan ekonomi pada China bisa mengarah pada dominasi politik yang semakin besar, yang pada akhirnya bisa merugikan kedaulatan Indonesia.
Penandatanganan MoU Prabowo dengan Jinping berpotensi menjadi kesalahan fatal bagi Indonesia, baik dari sisi politik domestik maupun internasional.
Sementara hubungan ekonomi dengan China dapat membawa keuntungan jangka pendek, ancaman terhadap kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara dan ketegangan yang ditimbulkan di kawasan ASEAN bisa merusak stabilitas politik dan keamanan nasional dalam jangka panjang.
Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam diplomasi yang merugikan kepentingan nasional, terutama dalam hal yang menyangkut integritas teritorial negara. (Red)
*) Andri Rahman, Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS FISIP UNNES