
Oleh: Dr. Yanuar Rachmansyah *)
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG — Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan scara serentak pada bulan November 2024 mendatang adalah suatu momen penting dalam proses demokrasi, politik dan juga keberlanjutan kepemimpinan regional di Indonesia.
Di dalam pelaksanaannya, netralitas Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sangatlah diharapkan agar marwah demokrasi dan politik Indonesia tetap terjaga dengan baik. Sehingga kondisi dimana mereka bisa dan bersedia untuk bersikap netral jelas diperlukan agar penyalahgunaan kewenangan (authority abuse) tidak terjadi.
Dan satu hal yang lebih penting lagi untuk diwujudkan adalah terciptanya kepercayaan publik (public trust) terhadap hasil akhir dari proses politik dan demokrasi ini. Sebab kepercayaan publik mempunyai kontribusi besar terhadap terciptanya kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan.
Berkenaan dengan hal itu, seluruh pengampu kepentingan (utamanya Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemilihan Umum Daerah, kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil) diharapkan berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaannya. Pemilihan kepala daerah serentak harus terlaksana sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang telah disepakati atau diterima secara universal.
“Prinsip netralitas dalam pelaksanaan Pilkada adalah langkah besar yang membutuhkan penguatan sosial secara masif dan simultan”
Netralitas adalah amanah konstitusional
Netralitas dapat dimaknai sebagai sikap tidak memihak atau tidak terlibat dalam pelaksanaan kegiatan politik praktis. Dalam kontestasi politik regional ini, para APH, ASN, serta perangkat desa tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada pasangan kandidat tertentu.
Memang, mereka tetap mempunyai hak untuk memilih. Akan tetapi, memperlihatkan dukungan dan keberpihakan secara terang-terangan serta menciptakan keadaan tertentu yang dinilai menguntungkan salah satu pasangan kandidat atau merugikan pasangan kandidat yang lainnya adalah hal yang dilarang.
Pemahaman mengenai hal tersebut telah dibakukan dalam berbagai peraturan terkait dengan pemilihan umum. Diantaranya yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pada pasal 71 ayat (1) dinyatakan bahwa pejabat negara, termasuk kepala desa dan aparat sipil negara dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan kandidat.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pada intinya mengatur para pegawai negeri sipil dengan melarang mereka untuk memberikan dukungan kepada calon presiden atau kepala daerah dengan cara ikut kampanye atau menggunakan fasilitas negara.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang di dalamnya terdapat uraian bahwa setiap kepala desa harus bersikap netral dan tidak terlibat dalam kampanye politik.
Jika para aparat penegak hukum, ASN dan juga perangkat desa tidak bisa menjaga netralitas, beberapa kondisi buruk dikhawatirkan dapat terjadi. Secara yuridis, jika ia terbukti memberikan dukungan yang menguntungkan salah satu pasangan kandidat, maka ia dapat dipidana.
Ketidaknetralan yang ditampilkan jelas bisa menurunkan marwah kepercayaan masyarakat terhadap pemilihan umum serta proses demokrasi dan politik yang ada. Dampak yang paling buruk dari ketidakmampuan bersikap netral adalah terpicunya konflik sosial dan keterbelahan masyarakat karena pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang cacat secara moral.
Tantangan Bawaslu
Sebagai salah satu pengampu kepentingan yang utama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ‘dibebani’ amanah atau tanggung jawab yang sangat besar dalam even kontestasi politik ini. Lembaga tersebut jelas harus mampu memastikan bahwa pinsip atau tuntutan netralitas dari para APH, ASN, dan perangkat desa bisa diwujudkan.
Setidaknya Bawaslu harus melakukan langkah-langkah strategis-normatif berkenaan dengan hal ini. Diantaranya, pertama, melakukan sosialisasi akan pentingnya netralitas dalam even politik pemilihan kepala daerah dan sanksi yang harus diterima jika para APH, ASN, dan kepala desa terbukti secara sah menurut hukum telah bertindak tidak netral.
Kedua, melaksanakan pengawasan terhadap tindakan para APH, ASN, dan perangkat desa selama masa kampanye guna memastikan bahwa pelanggaran tidak terjadi. Ketiga, melakukan penindakan terhadap pelanggaran yang terjadi apabila bukti yang valid memang telah ada.
Karena even kontestasi politik regional ini senantiasa melibatkan kekuatan politik yang secara naluriah tidak ingin dihalangi, maka Bawaslu seringkali menghadapi tantangan atau hambatan dalam upaya menegakkan prinsip netralitas. Kadang dalam kondisi tertentu, kecurangan dan pelanggaran terhadap prinsip netralitas dapat dirasakan. Tetapi, kemudian proses pembuktiannya mengalami kesulitan untuk menemukan eviden yang benar-benar terlihat secara nyata.
Selain itu, Bawaslu juga sering ditekan oleh pihak tertentu agar ia tidak menggunakan kekuatan pengawasannya secara penuh. Kadang, ada pihak tertentu yang merasa terusik oleh langkah-langkah kritis yang dilakukannya. Ada pula kemungkinan bahwa suatu wilayah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah tidak melaksanakan sosialiasi secara baik sehingga masyarakat tidak menerima informasi memadai terkait dengan prinsip-prinsip netralitas.
Dukungan Kekuatan Sipil dan Mahasiswa
Bawaslu jelas tidak akan bisa bekerja sendirian dalam upaya mewujudkan even kontestasi politik yang menjunjung tinggi prinsip netralitas. Karena itulah, kekuatan masyarakat sipil dan mahasiswa harus memberikan dukungan atau penguatan secara moral. Kedua pihak ini harus bersedia untuk membantunya; dengan menyerukan kewajiban untuk bersikap netral kepada para aparat penegak hukum, aparat sipil negara, dan perangkat desa.
Tidak hanya mengumandangkan seruan moral, tetapi kekuatan masyarakat sipil dan mahasiswa juga harus bersedia untuk melakukan beberapa langkah strategis-normatif seperti halnya Bawaslu. Kedua pihak ini bisa melaksanakan pemantauan terhadap tindakan para APH, ASN, dan perangkat desa selama masa kampanye.
Kedua pihak dapat memberikan penguatan moral kepada para warga masyarakat pemilih guna melaporkan pelanggaran atas prinsip netralitas dan pelanggaran peraturan yang lainnya kepada Bawaslu. Di samping itu, kekuatan masyarakat sipil dan mahasiswa perlu membantu pelaksanaan kegiatan sosialisasi serta edukasi mengenai hak politik warga masyarakat, pentingnya partisipasi secara aktif, dan juga kepedulian terhadap netralitas.
Upaya untuk mewujudkan prinsip netralitas dalam pelaksanaan Pilkada adalah langkah besar yang membutuhkan penguatan sosial secara masif dan simultan. Marwah proses demokrasi dan politik di negara kita jangan sampai tercederai oleh proses curang yang terjadi secara terstruktur dan sistemik! (Red)
*) Dr. Yanuar Rachmansyah, akademisi dan pemerhati dinamika sosial, ekonomi, politik; tinggal di Semarang