
Oleh: Badat Alauddin*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dunia pendidikan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren,—lembaga pendidikan Islam yang telah berabad-abad menjadi benteng moral dan intelektual bangsa.
Di balik berdirinya pesantren, sosok kyai hadir bukan sekadar pengasuh atau pengajar, melainkan figur sentral yang menanamkan nilai-nilai luhur, membimbing kehidupan spiritual, dan memelihara arah moral masyarakat.
Pesantren bukan hanya institusi tradisional, tetapi juga sistem pendidikan yang lahir dari bumi Indonesia, menyatu dengan kultur, keilmuan, dan spiritualitas masyarakatnya.
Kyai memiliki kedudukan strategis dalam membangun karakter dan peradaban. Dalam dirinya melekat tanggung jawab untuk menjaga nilai, akhlak, serta semangat keilmuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Mereka bukan hanya guru agama, melainkan pemimpin sosial yang dengan keteladanan dan kebijaksanaannya membentuk tatanan masyarakat yang beradab.
Melalui pesantren, bangsa ini belajar tentang disiplin, kebersahajaan, dan semangat kemandirian. Tidak berlebihan jika disebut bahwa banyak tonggak sejarah perjuangan bangsa, termasuk Resolusi Jihad yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari pada 1945, berakar dari tradisi pesantren.
Namun, dalam era media modern yang serba instan, peran dan citra kyai sering kali disalahpahami, bahkan direduksi. Publik dikejutkan dengan munculnya tagar #BoikotTrans7 di media sosial, sebagai protes dari tayangan yang dianggap melecehkan marwah pesantren dan kyai.
Tayangan tersebut menampilkan kyai dan pesantren secara tidak proporsional, dengan framing yang mengandung stereotip negatif.
Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan, mulai dari santri, alumni pesantren, hingga ormas Islam yang menilai bahwa program itu bukan hanya menyinggung, tetapi juga mencoreng martabat lembaga pendidikan Islam yang selama ini berperan besar dalam mencerdaskan bangsa Indonesia.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa media massa memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang besar. Penyajian konten tanpa riset mendalam, tanpa klarifikasi kepada pihak terkait, dan tanpa pemahaman historis terhadap peran pesantren hanya akan memperkuat bias dan ketidakadilan informasi.
Di satu sisi, media mengklaim dirinya sebagai pilar keempat demokrasi; namun di sisi lain, jika tidak berhati-hati, media bisa menjadi alat pembentuk opini yang justru merusak nilai-nilai sosial dan keagamaan masyarakat.
Media seharusnya menjadi ruang edukatif, bukan ruang eksploitasi atau sensasi. Di tengah derasnya arus informasi, prinsip verifikasi dan riset mendalam menjadi sangat krusial.
Pesantren dan kyai bukan figur sembarangan; mereka adalah institusi dan tokoh yang telah membentuk wajah moral Indonesia. Kritik tentu diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan etika, data, dan penghormatan terhadap fakta.
Konten yang bersifat edukatif justru seharusnya memperkaya perspektif masyarakat, bukan menimbulkan luka kultural dan kecurigaan antar kelompok.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin sejati (yang dalam hal ini guru/ kyai) adalah sosok yang berilmu, bijaksana, berwawasan luas, dan menjadi teladan bagi umat.
Nilai-nilai inilah yang membentuk ruh pendidikan di pesantren, dan justru harus dijaga oleh media agar tidak terdistorsi oleh framing atau opini sepihak.
Jika media ingin berperan sebagai agent of change, maka perubahan yang dibawa seharusnya menuju pencerahan, bukan provokasi atau penghinaan terhadap institusi yang berperan besar dalam sejarah bangsa.
Akhirnya, pesantren dan para kyai bukan hanya warisan masa lalu, melainkan fondasi masa depan bangsa. Mereka telah membuktikan bahwa pendidikan bukan semata urusan akademik, tetapi juga urusan hati, moral, dan nilai kemanusiaan.
Maka, #BoikotTrans7 bukan hanya bentuk kemarahan spontan publik, tetapi ekspresi moral kolektif bahwa kehormatan kyai dan pesantren tidak boleh diremehkan.
Media yang beradab seharusnya menjadi mitra pesantren dalam mencerahkan masyarakat bukan pihak yang mengaburkan berita tidak benar dengan narasi yang tidak bertanggung jawab. (Red)
*) Badat Alauddin, Santri Pesantren Aji Mahasiswa Al Muhsin, Krapyak Wetan, Yogyakarta