Sebuah Refleksi Kritis: Prada Lucky, Nyawa Muda yang Terhenti di Barak Nagekeo (Part 2)

Prada Lucky Namo (23), prajurit TNI di NTT akhirnya meninggal dunia setelah dirawat secara intensif selama empat hari di rumah sakit usai diduga mendapat penganiayaan berat dari seniornya. (Liputan6.com/ Ola Keda)

Oleh: Yohanes Soares*)

SUARAMUDA.NET, FLORES — Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo di Batalyon 843 Nagekeo bukanlah sekadar berita duka yang berlalu. Ia adalah sebuah potret buram, retakan dalam fondasi yang memantulkan wajah keras budaya militerisme yang mengakar.

Di balik kedisiplinan yang selalu diagungkan, kasus ini menyajikan pertanyaan yang tak nyaman: apakah kekerasan masih menjadi bagian yang sah dari proses pembentukan seorang prajurit?

Narasi awal kematian Lucky yang cenderung menghindari kata “penganiayaan” dan menyebutnya “sakit mendadak” menjadi alarm pertama.

Alarm itu berbunyi lebih keras ketika Serma Christian Namo, ayah korban, berjuang menuntut keadilan. Suara sang ayah menjadi representasi perlawanan warga terhadap ketidakadilan yang sering kali tertutup oleh tembok hierarki kekuasaan.

“Anak saya pergi untuk mengabdi, bukan untuk pulang di dalam peti,” suaranya menggema, mencerminkan duka yang bercampur dengan frustrasi dan harapan akan keadilan.

Kini, dengan terkuaknya dugaan kekerasan yang dilakukan oleh para senior, kita melihat masalah yang lebih dalam dari sekadar tindakan personal.

Ini adalah kekerasan sistemik, di mana perpeloncoan ekstrem berkedok “ritual penerimaan” menjadi sebuah legitimasi untuk melanggar batas-batas kemanusiaan.

Prada Lucky menjadi korban nyata dari budaya yang menganggap rasa sakit sebagai pembuktian loyalitas dan memuja senioritas di atas segalanya.

Respons cepat TNI dengan menangkap para terduga pelaku patut diapresiasi, namun di situlah kepercayaan publik diuji. Akankah proses hukum berjalan transparan dan adil, ataukah ditutup-tutupi demi menjaga citra institusi?

Kasus ini adalah ujian moral bagi TNI untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya mampu mempertahankan negara, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan di dalam tubuhnya sendiri.

Tragedi sering kali menjadi momentum untuk perbaikan, dan kasus Prada Lucky harus menjadi pintu bagi perubahan sistemik di tubuh TNI. Ini bukan hanya tentang menghukum para pelaku, tetapi juga tentang memutus rantai kekerasan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Diperlukan langkah-langkah konkret, seperti mekanisme pengaduan independen, pelatihan anti-kekerasan, dan penerapan protokol zero tolerance terhadap pelecehan fisik.

Kematian Prada Lucky adalah alarm kolektif—memanggil nurani bangsa untuk menolak segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan, di mana pun ia berada.

Jika kasus ini ditangani dengan refleksi dan reformasi nyata, ia bisa menjadi titik balik menuju institusi militer yang profesional dan manusiawi.

Namun, jika ia tenggelam menjadi kisah pilu yang dilupakan, lingkaran kekerasan akan terus berputar di balik barak, dan akan ada “Lucky-Lucky” lain yang kembali menjadi korban. (Red)

*) Yohanes Soares, aktivis sosial dan peneliti kebijakan pendidikan dan masyarakat daerah tertinggal; mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like