
Oleh: Mohammad Ikhsan Firdaus*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita kematian Diplomat Muda Kementrian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (ADP), di sebuah kamar kos di kawasan Menteng, Jakarta, pada 08 Juli 2025.
Kasus kematiannya tidak hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga menggemparkan jagat maya. Kasus yang sampai saat ini belum menemukan titik terang menimbulkan sederet pertanyaan-pertanyaan besar yang perlu untuk dijawab.
Kondisi jenazah yang ditemukan tidak wajar dengan keadaan terlilit lakban di kepalanya menimbulkan spekulasi-spekulasi publik: Apakah kasus ini murni kematian biasa, bunuh diri, atau ada tindakan pembunuhan yang jauh lebih kompleks?
Dalam situasi seperti ini, kepercayaan publik terhadap proses hukum dan institusi penegak keadilan menjadi taruhan.
Cepat-lambat dan tepat-tidak tepatnya aparat penegak hukum menangani kasus ini akan mencerminkan sejauh mana komitmen negara terhadap transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas dalam menjaga serta menjamin hak-hak warga negaranya, terlebih dalam kasus ini yang menjadi korban ialah bagian dari unsur penting diplomasi negara.
Merujuk pada fakta bahwa ADP adalah seorang diplomat aktif memberikan dimensi baru pada kasus ini. Sebab, tanggung jawab seorang diplomat bukanlah tanggung jawab yang mudah dan biasa.
Ketika seorang pejabat seperti itu meninggal dunia dalam kondisi tidak wajar dan misterius, negara harus jauh lebih serius dan transparan dalam mengungkap kasus tersebut, jika tidak, maka negara harus menghadapi konsekuensi berupa ketidakpercayaan masyarakat kepada negara sebagai pemegang tanggung jawab atas hak-hak warga negaranya—terkhusus pada institusi penegak hukum.
Dengan serangkaian ketidakwajaran yang ditemukan pada kasus ini, menimbulkan kecurigaan publik. Namun, hingga dua minggu setelah kejadian, publik tak kunjung menerima keterangan resmi mengenai penyebab kematian ADP.
Proses investigasi, termasuk hasil forensik dan analisis psikologi forensik, berlangsung relatif lamban. Bahkan pihak kepolisian mengakui membutuhkan waktu tambahan untuk mengungkap kasus kematian diplomat muda ini.
Lambannya proses penyelidikan ini —walaupun dapat dimaklumi secara teknis— menimbulkan kegelisahan publik, dan dalam era digital yang serba cepat ini, informasi resmi yang tertutup atau bahkan ditutup-tutupi akan menciptakan ruang kosong yang akan diisi oleh spekulasi, rumor, dan segala bentuk narasi disinformasi.
Sebab masyarakat tidak ingin kegelisahannya terhadap kasus ini berlangsung terlalu lama dan berlarut-larut.
Hal itulah yang menjadikan transparansi menjadi sangat fundamental dalam proses investigasi suatu kasus, terlebih lagi pada kasus pembunuhan seorang diplomat yang sarat dengan teka-teki ini.
Bukan hanya sebagai prinsip dalam mengungkap kasus, tetapi juga sebagai upaya menjaga ketertiban sosial dan menjegah konflik serta polarisasi opini publik.
Transparansi bukanlah opsi yang dapat dipilih atau tidak oleh penegak hukum, tetapi merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan—tidak boleh tidak.
Mendapatkan informasi tentang bagaimana negara menyikapi suatu kasus merupakan bagian dari hak yang dimiliki oleh publik. Ditambah lagi dalam kasus kali ini yang menjadi korban adalah seorang diplomat dan dengan kematian yang mengandung unsur kekerasan serta ketidakwajaran.
Lamban dan tertutupnya proses investigasi yang dilakukan oleh penegak hukum di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru terjadi di kasus kematian ADP ini, namun sudah seringkali terjadi pada kasus-kasus sebelumnya, misalnya pada kasus kematian brigadir J yang dibunuh oleh Irjen Ferdy Sambo dan empat orang tersangka lainnya, yang terjadi pada tanggal 08 Juli 2022.
Kasus kematian brigadir J ini dinilai tidak transparan sebab proses pengungkapan kasusnya yang terkesan alot dan berjalan lama, ditambah narasi-narasi elite polri yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah menyebabkan lahirnya banyak pertanyaan-pertanyaan besar—bahkan spekulasi-spekulasi liar— di khalayak umum.
Sikap tertutup penegak hukum dalam proses pengungkapan kasus —yang sudah seringpula dilakukan pada kasus-kasus sebelumnya— tidak bisa terus dimaklumi.
Walaupun kita sama-sama tahu dan mungkin sama-sama setuju bahwa kasus kematian diplomat muda ini merupakan kasus yang rumit, namun rumitnya kasus ini tidak bisa menjadi alasan untuk diam dan membiarkan begitu saja arus disinformasi yang semakin deras.
Hal ini lah yang mengharuskan proses pengungkapan kasus kematian ADP dilakukan secara terbuka dengan batas wajar tertentu demi menenangkan kegelisahan publik dan mencegah spekulasi-spekulasi liar.
Krisis transparansi yang terjadi di Indonesia dewasa ini menunjukan kegagalan negara dalam menjamin hak publik dalam menerima informasi sebagai upaya keterbukaannya negara dalam proses pengambilan keputusan publik, yang mana hak publik tersebut telah dijamin oleh Undang-undang No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Krisis transparansi yang disebutkan dalam tulisan ini bukan serta-merta disebut karena tertutupnya informasi akan proses pengungkapan kasus kematian ADP saja.
Namun dilatarbelakangi oleh terlampau seringnya terjadi kasus yang pada proses pengungkapannya tidak memberikan informasi yang terbuka—dan terkesan ditutup-tutupi, bukan hanya pada kasus kematian atau pembunuhan, juga pada kasus-kasus pidana lainnya seperti kasus korupsi pertamina, dan yang terbaru adalah kasus dugaan korupsi impor gula Tom Lembong yang dinilai tidak transparan dalam pengungkapannya.
Mengingat kasus kematian Brigadir J yang baru terungkap selama berbulan-bulan dan itupun dilakukan karena adanya unsur desakan dari publik, apakah kematian diplomat muda ADP ini pun akan terungkap dengan pola yang sama?
Apabila seperti itulah nanti adanya, maka negara harus siap menghadapi erosi kepercayaan publik kepada negara sebagai penjamin atas hak warga negaranya, dan jika hal tersebut terjadi, yang akan merosot bukan hanya rasa aman masyarakat, tapi juga otoritas negara itu sendiri. (Red)
*) Mohammad Ikhsan Firdaus, seorang mahasiswa jurusan ilmu hukum di salah satu universitas yang berpusat di Jakarta. Lahir dan bertempat tinggal di Kabupaten Bogor. Memiliki kegemaran menulis sejak SMP, karya-karyanya berbentuk puisi, anekdot, opini, essay, dan naskah monolog.