
Oleh: Hafidz Yanuar Ramadhani*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026 sudah diberlakukan.
Ini akan menjadi rujukukan penerapan hukum formil yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHP/KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981 yang hari ini sedang dilakukan Revisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Berlakunya KUHP baru ini akan memunculkan inkosistensi antara hukum formil dan materil jika RKUHAP tidak segera diselesaikan.
Pasalnya, terdapat beberapa hal yang dirubah dan belum di atur dalam hukum formil atau RKUHAP.
Jelas hal tersebut bersebrangan dengan asas Legal Certainty/ kepastian hukum karena secara makna, relevansi, landasan harus konsisten dan memiliki kepastian hukum.
Inkonsistensi antara hukum formil dan materil juga melanggar asas Due Process of Law karena sangat berpotensi memberikan ketidakadilan dalam penerapan hukum.
Akibatnya hukum formil dalam pelaksanan prosedur untuk menjalakan hukum materil tidak mencakup ruang lingkup hukum materil.
Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi juga konsisten dalam beberapa putusanya menegaskan pentingnya keadilan prosedural dan subtansial dalam menilai keabsahan suatu norma.
Beberapa contoh pasal dalam KUHP baru yang berpotensi inkonsistensi serta melanggar asas Due Process of Law;
1. Pasal 411-413 tentang Kumpul Kebo (delik moral), inkonsistensi karena KUHP menetapkan delik baru tetapi RKUHAP belum mengatur tahap penyidikan, pembuktian, dan pembelaan yang proporsional.
2. Pasal 188 tentang Idiologi yang Bertentangan dengan Pancasila, inkonsistensi karena KUHP memasukan redaksi baru dengan arti cukup luas tetapi RKUHAP belum menetapkan batas prosedural.
3. Pasal 252 tentang Santet/Magic, potensial inkonsistensi karena RKUHP belum mengatur dalam hal membadakan antara laporan palsu dan bukti serius sehingga bisa menjadi pelanggaran proses hukum jika prosedur pemeriksaan bukti tidak sesuai standard of proof.
4. Pasal 218 tentang Delik Aduan Penghinaan Presiden/Wakil Presiden, pasal ini terdapat titik kritis yang mana KUHAP lama tidak mengatur terkait penetapan batas waktu, tata cara, atau peran hakim terkait delik aduan model baru dalam KUHP baru.
Dengan demikian, RKUHAP harus segera diselesaikan untuk memastikan dan menjalankan hukum materil (KUHP baru) yang pada tanggal 2 Januari sudah diberlakukan untuk menghindari pelanggaran asas Due Process of Law.
Pasalnya ini menjadi persoalan yang serius, karena dalam proses revisi KUHAP tidak ada kepastian waktu kapan selesainya serta terdapat beberapa prosedural dalam revisi KUHAP sampai berlakuknya KUHAP.
Terdapat beberapa syarat RKUHP bisa diberlakukan, harus disetujuai DPR dan Presiden, disahkan oleh Presiden, diundangkan dalam Lembaran Negara, dan dalam bagian terakhir harus memuat kapan diberlakukanya.
Maka dari itu proses ini memakan waktu yang lama, ditambah ini merupakan bagian proses politik dalam pembentukan atau revisi suatu produk hukum.
Hemat saya, DPR sudah seharusnya segera menyelesaikan proses Revisi KUHAP mengingat KUHAP ini adalah hukum formil yang menjalankan hukum materil.
Jikalau sampai dalam berlakunya KUHP baru belum selesai, ini akan berakibat inkonsistensi dan carut marut dalam prosedural penegakan hukum.
Tentunya, ini akan menjadi polemik yang dihadapi oleh para aparat penegak hukum karena tidak adanya kepastian hukum. (Red)
*) Hafidz Yanuar Ramadhani, S.H., CPM., Managing Partner Hafidz&Partners Law Office