Negara dan Feminisme Institusional: Ketika Gender Mainstreaming Hanya Formalitas

Oleh: Fathiyah Mufarihah, Irsha Dyah dan Khansa Diva*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG —Pengarusutamaan gender sudah lama menjadi strategi pemerintah untuk memastikan perempuan dan laki-laki mendapat manfaat pembangunan secara setara.

Secara konsep, kebijakan ini mengharuskan setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan program memperhitungkan kebutuhan semua kelompok secara adil.

Namun dalam praktiknya, banyak lembaga masih menjalankannya sebagai formalitas. Dokumen dan laporan dibuat, tetapi belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi perubahan nyata. (Karimah & Susanti, 2022; Larashati, 2022).

Kesenjangan gender tetap terlihat di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga ekonomi dan dunia kerja.

Ketimpangan tersebut berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan mempersempit ruang perempuan dalam partisipasi publik (Nuraini et al., 2024; Sitorus, 2021). Artinya, meski prosedur sudah berjalan, kondisi di lapangan belum banyak berubah.

Penelitian mengenai penerapan pengarusutamaan gender di Indonesia menunjukkan bahwa hambatan struktural menjadi tantangan utama.

Analisis terhadap praktik PUG sejak tahun 2000 memperlihatkan bahwa integrasi perspektif gender dalam perencanaan dan penganggaran sering mandek karena lemahnya pelembagaan dan minimnya dukungan kelembagaan di pusat maupun daerah (Ejournal Nusantara Global).

Kajian di tingkat lokal juga mengonfirmasi bahwa komitmen politik rendah, kapasitas teknis terbatas, serta kultur birokrasi yang masih patriarkal membuat kebijakan hanya berhenti di dokumen, bukan tindakan konkret (transformative.ub.ac.id).

Temuan-temuan ini sejalan dengan kerangka Feminist Institutionalism yang menekankan pentingnya gender machinery yang memiliki posisi kuat, kewenangan jelas, dan sumber daya memadai. Tanpa itu, PUG tidak akan menjadi kekuatan struktural untuk mendorong perubahan.

Dalam birokrasi sendiri, perempuan memang hadir, tetapi keterwakilan mereka mengecil di level pengambil keputusan akibat hambatan karier, beban ganda, dan budaya organisasi yang maskulin.

Studi di Surabaya menemukan representasi perempuan tinggi pada posisi staf, namun menurun drastis pada jabatan struktural karena proses promosi yang belum responsif gender

Kondisi serupa terlihat pada capaian pembangunan: studi Anjellika dan Lestarika (2024) menunjukkan stagnasi Indeks Pembangunan Gender di sejumlah daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Riau, sekalipun kerangka regulasi PUG semakin lengkap (Badan Pusat Statistik, 2021).

Di tingkat nasional, posisi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dinilai belum cukup kuat untuk menjalankan fungsi national women’s machinery. Keterbatasan anggaran dan mandat membuat koordinasi lintas sektor tidak berjalan optimal.

Dampaknya, instrumen seperti Gender Analysis Pathway dan Gender Budget Statement sering hanya menjadi angka dan laporan tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan kelompok rentan.

Agar PUG tidak lagi menjadi rutinitas administratif, pemerintah perlu memperkuat lembaga penggeraknya dengan dukungan anggaran dan posisi yang lebih strategis.

Integrasi analisis gender harus diwajibkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi program. Reformasi promosi jabatan juga penting untuk membuka jalan bagi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Namun upaya ini tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah. Perguruan tinggi perlu memperkuat kapasitas analisis gender melalui riset dan pendidikan publik.

Organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal dapat menjadi pengawas independen dan memastikan suara akar rumput terdengar. Dunia usaha juga bisa mempercepat perubahan melalui praktik kerja yang inklusif dan adil.

Pengarusutamaan gender adalah strategi untuk menghadirkan pembangunan yang benar-benar dirasakan semua orang. Selama isu ini hanya dilihat sebagai kewajiban administratif, ketimpangan akan terus berulang.

Menempatkan analisis gender sebagai bagian inti dari kebijakan publik adalah langkah penting agar kesetaraan tidak hanya menjadi janji, tetapi kenyataan yang hadir dalam kehidupan perempuan di seluruh Indonesia. (Red)

*) Penulis: Fathiyah Mufarihah, Irsha Dyah dan Khansa Diva, mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like