
Oleh: Ali Achmadi*)
SUARAMUDA.NET., SEMARANG – Di depan saya, seorang anak muda yang sepertinya dulu pernah jadi muridku duduk memeluk tas ranselnya. Isinya, katanya, bukan laptop. Tapi map plastik berisi ijazah, fotokopi KTP, surat lamaran kerja.
Ia lulusan perguruan tinggi swasta di kota kecil. Bukan kampus unggulan. Tapi ia lulus dengan IPK baik. Bahkan terlalu baik, sampai beberapa HRD mencurigainya: “Ini IPK beneran atau …?”
Sudah dua tahun ia menganggur. Pernah bekerja serabutan, katanya, tapi tidak pernah cukup lama. Kadang karena tempatnya tutup. Kadang karena gajinya terlalu kecil. Seringnya karena “overqualified“.
“Negara tahu saya nganggur, Pak?” tanyanya.
Saya hanya bisa tersenyum. Saya tahu maksudnya bukan meminta jawaban.
_________________________
Beberapa hari lalu saya membaca kabar: rekening yang nganggur, tidak aktif selama tiga bulan bisa diblokir otomatis. Alasannya: tidak produktif dan untuk efisiensi sistem perbankan.
Saya juga membaca berita: tanah yang nganggur dibiarkan kosong lebih dari dua tahun bisa disita negara. Alasannya: tidak produktif dan untuk optimalisasi aset.
Saya mengangguk. Negara tidak suka sesuatu yang nganggur dan diam terlalu lama. Tanah harus diolah. Rekening harus bergerak. Saya ingin bertanya: bagaimana dengan manusia?
Apakah negara juga tidak suka manusia yang terlalu lama nganggur dan tidak produktif ? Kalau iya, bentuk “teguran”-nya seperti apa? Ataukah justru manusia yang diam tidak dihitung sebagai apa-apa?
Saya jadi berpikir: tanah kosong dianggap aset tidur. Maka harus dibangunkan. Tapi manusia yang nganggur, malah dianggap tidak ada. Tidak tercatat. Tidak dicatat. Tidak penting.
Padahal, biaya sekolahnya—SD, SMP, SMA, kuliah—sebagian dibiayai negara. Bahkan kalau ia sekolah di sekolah negeri, hampir semua dari APBN.
Apa negara tidak ingin menagih hasil dari investasi itu? Atau jangan-jangan, negara hanya serius menagih bila investasinya berupa tanah, bukan pendidikan?
Tanah bisa dilihat. Bisa diukur. Bisa ditaksir nilainya. Tapi bagaimana dengan manusia?Terlalu rumit. Terlalu banyak variabel. Terlalu banyak alasan untuk diabaikan.
_________________________
Saya tidak sedang menyalahkan pemerintah. Saya hanya ingin mengajak berpikir.
Kalau tanah nganggur bisa disita negara, dan rekening nganggur bisa diblokir bank, maka wajar bila rakyat yang lama menganggur bertanya: “Saya ini aset negara atau bukan?”
Kalau bukan, kenapa dulu disuruh sekolah?
Kalau iya, kenapa setelah lulus justru dibiarkan terlantar? Saya tahu jawabannya tidak sederhana. Tapi saya tahu, pertanyaannya juga tidak bisa terus-menerus dianggap bercanda.
Jika tanah nganggur bisa dianggap “potensi yang disia-siakan”, maka manusia nganggur seharusnya dianggap lebih dari itu.
Tanah tidak bisa berpikir. Tidak bisa belajar. Tidak bisa bekerja. Manusia, bisa. Tapi hanya jika diberi kesempatan. Dan selama kesempatan itu tidak datang, mereka hanya akan duduk memeluk map ijazah—di halte, di rumah, di ruang tunggu. Menunggu negara yang tak pernah benar-benar datang! (Red)
*) Ali Achmadi, praktisi pendidikan dan pemerhati masalah sosial, tinggal di Pati, Jawa Tengah