
Penulis: Hasim Habibi, Diaspora Indonesia di Tiongkok
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Bagi banyak orang, Tiongkok identik dengan gemerlap Beijing, Shanghai, atau hingar-bingar Makau.
Namun, bagi saya, seorang pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di ‘Negeri Tirai Bambu‘, liburan musim panas kali ini adalah sebuah panggilan untuk menyingkap sisi lain Tiongkok yang tak kalah memukau: Xinjiang.
Rasa penasaran akan budaya Islam yang unik di wilayah otonomi ini membawa saya pada petualangan yang tak terlupakan, dimulai dari Urumqi, jantung Xinjiang.
Gerbang Menuju Keunikan Xinjiang
Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, adalah kota yang menggabungkan modernitas dengan jejak sejarah.
Langit-langit pencakar langit yang menjulang berpadu dengan arsitektur tradisional khas Uighur, menciptakan pemandangan yang kontras sekaligus harmonis.
Memilih Kunlun Hotel sebagai tempat menginap adalah langkah awal yang tepat. Hotel ikonik ini bukan sekadar penginapan, melainkan juga cerminan kemegahan dan simbol kemajuan di Urumqi.
Dari jendela kamar, saya bisa melihat hiruk-pikuk kota yang dinamis, namun di balik itu, tersimpan kisah-kisah panjang tentang peradaban Jalur Sutra dan kekayaan budaya.
Xinjiang, secara geografis, adalah wilayah otonomi terbesar di Tiongkok, mencakup sekitar seperenam dari total luas daratan negara itu.
Berdasarkan data sensus penduduk Tiongkok tahun 2020, populasi Xinjiang mencapai sekitar 25,85 juta jiwa. Namun yang membuat Xinjiang begitu menarik adalah keberagaman etnisnya.
Meskipun seringkali identik dengan etnis Uighur, wilayah ini adalah rumah bagi puluhan kelompok etnis lain.
Data menunjukkan bahwa etnis Uighur memang mayoritas, membentuk sekitar 45% dari total populasi. Namun, etnis Han juga merupakan kelompok besar, sekitar 40%.
Selain itu, ada etnis Kazakh, Hui , Kirgiz, Mongol, Tajik, Xibe, dan sejumlah etnis minoritas lainnya, masing-masing dengan tradisi dan bahasa mereka sendiri. Keberagaman ini menciptakan permadani budaya yang kaya, sebuah mozaik yang unik di Tiongkok.
Xinjiang Islamic Institute, Pusat Pendidikan Pemimpin Muslim Tiongkok
Puncak perjalanan spiritual saya adalah kunjungan ke Xinjiang Islamic Institute. Dari luar, bangunan kampus ini tampak megah dengan arsitektur yang memadukan gaya tradisional Islam dan sentuhan modern.
Di sinilah para calon pemimpin agama Islam Tiongkok dididik dan dipersiapkan untuk menjadi imam diberbagai masjid dan organisasi asosiasi Islam.
Saya berkesempatan melihat fasilitas-fasilitas modern yang menunjang proses belajar-mengajar, mulai dari ruang kelas yang canggih, perpustakaan yang lengkap dengan ribuan koleksi buku-buku Islam, hingga asrama yang nyaman bagi para mahasiswa.
Institut ini bukan hanya sebuah lembaga pendidikan, melainkan juga pusat kajian Islam yang penting. Kurikulumnya mencakup studi Al-Qur’an dan Hadis, fikih (hukum Islam), sejarah Islam, bahasa Arab, serta mata kuliah umum lainnya.
Para dosen dan pengajar di sini adalah ulama-ulama terkemuka yang memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam dan konteks sosial Tiongkok.
Mereka tidak hanya membekali para mahasiswa dengan pengetahuan agama, tetapi juga membentuk mereka menjadi pribadi yang mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan negara.
Dari perbincangan singkat dengan beberapa, saya memahami bahwa mereka memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan menjadi teladan.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang etnis di Xinjiang, seperti Uighur, Hui, dan Kazakh, yang semakin memperkaya suasana akademik di kampus ini.
Kehadiran Xinjiang Islamic Institute menegaskan komitmen Tiongkok dalam mendukung pendidikan agama dan melahirkan generasi ulama yang moderat dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Institut ini memainkan peran krusial dalam melestarikan ajaran Islam yang damai dan toleran, sejalan dengan karakteristik keislaman di Tiongkok yang telah berakar selama berabad-abad.
Saya sedikit berbisik, apakah benar ada larangan-larangan seperti pemberitaan sejumlah media, dan mereka membantah hal itu sama sekali tidak terjadi.
Guyuanxiang: Melestarikan Warisan Etnis yang Unik
Puncak pengalaman interaksi budaya saya adalah kunjungan ke komunitas Guyuanxiang. Ini adalah sebuah komunitas etnis yang khusus di Xinjiang, yang keunikannya terletak pada upaya pelestarian budaya mereka yang sangat kental.
Pemerintah setempat bahkan menyiapkan kantor layanan khusus bagi etnis ini, sebuah fasilitas yang didedikasikan untuk memastikan warisan budaya mereka tetap hidup dan berkembang.
Di Guyuanxiang, saya menyaksikan bagaimana tradisi-tradisi kuno tetap dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Rumah-rumah tradisional dengan arsitektur khas, pakaian adat dengan motif yang rumit, dan kerajinan tangan yang memukau, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
Anak-anak diajarkan bahasa dan kesenian tradisional sejak dini, memastikan bahwa pengetahuan dan keterampilan ini tidak akan hilang ditelan zaman.
Kantor layanan khusus yang disediakan pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai pusat administrasi, tetapi juga sebagai wadah untuk kegiatan-kegiatan budaya.
Di sini, masyarakat dapat berkumpul, berlatih kesenian tradisional, dan merayakan festival-festival penting.
Ada program-program pelatihan untuk generasi muda agar mereka dapat menguasai keahlian-keahlian tradisional, seperti menenun, memahat kayu, atau membuat alat musik.
Inisiatif ini menunjukkan komitmen untuk melindungi dan mempromosikan keragaman budaya di Xinjiang, sebuah langkah penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.
Pengalaman saya di Xinjiang telah mengubah persepsi saya secara mendalam. Jauh dari citra yang mungkin sering digambarkan oleh media, saya menemukan sebuah wilayah yang kaya akan budaya, toleransi, dan semangat inovasi.
Interaksi langsung dengan masyarakat setempat, mulai dari para mahasiswa di Xinjiang Islamic Institute, pekerja di perusahaan farmasi, hingga komunitas Guyuanxiang, telah memberikan saya pemahaman yang lebih komprehensif.
Xinjiang adalah cerminan kompleksitas Tiongkok itu sendiri: sebuah negara yang modern namun tetap memegang teguh tradisi, beragam dalam etnis dan kepercayaan, namun berupaya membangun harmoni.
Bagi saya, sebagai seorang pelajar Muslim Indonesia, liburan ini bukan hanya sekadar rekreasi, melainkan sebuah pelajaran berharga tentang persimpangan budaya, agama, dan pembangunan.
Ini adalah kisah tentang Xinjiang yang sesungguhnya: sebuah permata di Jalur Sutra yang terus berdenyut dengan kehidupan dan warisan yang tak ternilai harganya. (Red)