suaramuda

Literasi Bisa Menjebakmu? Mengurai Mitos dan Fakta di Era Informasi

Oleh: Syuhada Bahri Robbani*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tengah gempuran informasi digital yang begitu deras dan cepat, kemampuan literasi bukan hanya lagi soal membaca teks, tetapi menyelami makna, memverifikasi keaslian, dan menyaring informasi dengan kritis.

Opini mendalam ini menyoroti fakta bahwa membaca sepintas lalu tanpa mengkritisi atau membandingkan informasi dari berbagai sumber justru berpotensi menjerumuskan pembaca dalam disinformasi atau hoaks.

Banyak individu dari berbagai lapisan usia merasa telah memahami isi berita hanya dengan membaca judul, padahal narasi sesungguhnya baru muncul setelah membaca tuntas.

suaramuda

Inilah yang disebut dengan “jebakan literasi” – yakni kondisi di mana seseorang menganggap dirinya sudah melek informasi padahal belum benar-benar memahami secara menyeluruh isi dan konteks suatu berita.

Maka, menjadi penting untuk menyadari bahwa kemampuan membaca bukanlah akhir dari literasi, tetapi justru pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam dan bertanggung jawab.

Jebakan literasi adalah kondisi ketika seseorang merasa sudah paham suatu isu atau berita hanya dengan melihat potongan informasi seperti judul, kutipan, atau video pendek, tanpa membaca utuh atau memverifikasi sumbernya. Hal ini menyebabkan pemahaman yang bias, keliru, bahkan menyesatkan.

Dalam sebuah artikel Kompas.com (7 November 2017), sebagian besar masyarakat Indonesia kerap menyebarkan informasi hanya berdasarkan judul tanpa membaca isi artikelnya terlebih dahulu, yang menjadikan mereka secara tidak sadar menjadi penyebar hoaks.

Jebakan ini muncul dari persepsi keliru bahwa semua informasi yang terlihat di internet adalah kebenaran, padahal kebenaran informasi harus melalui proses klarifikasi dan perbandingan sumber.

Fenomena ini dipicu oleh budaya konsumsi informasi yang serba cepat dan instan. Media sosial dan portal daring didesain dengan algoritma yang menampilkan informasi menarik dalam waktu singkat. Akibatnya, pembaca jarang merasa perlu membaca secara lengkap.

Laman detik.com (10/6/ 2023) mengungkapkan pentingnya membangun pondasi literasi digital sejak usia dini agar masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja, mampu berpikir kritis terhadap setiap informasi yang dikonsumsi.

Selain itu, rendahnya minat baca menjadi salah satu faktor penyebab utama jebakan ini. Menurut Kompas.com (13/5/2024), minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001% dengan waktu rata-rata mengakses internet mencapai 7 jam 28 menit per hari, namun sayangnya tidak diimbangi dengan pemahaman mendalam terhadap informasi yang dikonsumsi.

Semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, berisiko terjebak dalam literasi semu apabila tidak dibekali dengan keterampilan membaca kritis dan verifikasi informasi.

Anak-anak sering kali terpapar konten yang dikemas secara menarik di TikTok atau YouTube Shorts, tanpa memahami konteks atau kebenaran dari konten tersebut.

Remaja, sebagai pengguna aktif media sosial, cenderung mempercayai informasi dari influencer tanpa menyelidiki keabsahannya. Sementara itu, orang tua yang lebih aktif dalam grup WhatsApp keluarga sering kali menjadi korban penyebaran hoaks karena minimnya keterampilan verifikasi digital.

Fakta ini menunjukkan bahwa jebakan literasi bukan hanya persoalan generasi muda, tetapi lintas usia, lintas platform, dan lintas media.

Fenomena jebakan literasi semakin mencuat seiring meningkatnya konsumsi informasi digital, khususnya dalam lima tahun terakhir. Terutama saat terjadi peristiwa besar, seperti pandemi, pemilu, atau kejadian viral yang memancing emosi publik.

Pada saat-saat seperti itu, masyarakat cenderung mencari informasi secara cepat tanpa mempertimbangkan validitas dan kedalaman informasi yang diterima.

Selain itu, perubahan pola konsumsi berita dari media cetak ke media daring mempercepat terjadinya literasi instan di mana orang hanya membaca melalui scroll cepat atau notifikasi singkat.

Platform digital adalah ladang subur penyebaran literasi semu. Media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan WhatsApp merupakan tempat utama di mana informasi tersebar dengan sangat cepat, namun tidak selalu akurat.

Portal berita online juga tak luput dari jebakan ini, karena algoritma clickbait sering kali memunculkan judul sensasional yang tidak mencerminkan isi sebenarnya. Bahkan situs yang tampak kredibel pun bisa menyajikan informasi yang bias atau tidak lengkap jika tidak dikaji secara kritis.

Ada beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk menghindari jebakan literasi, yang dapat diterapkan di tingkat individu, keluarga, maupun institusi pendidikan: Baca secara menyeluruh, jangan hanya pada judul atau paragraf pertama.

Bandingkan informasi dari berbagai sumber, khususnya dari portal berita yang kredibel dan situs pemeriksa fakta. Ajarkan literasi digital sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah maupun edukasi dalam keluarga.

Bangun budaya diskusi kritis di rumah, sekolah, atau komunitas, agar setiap informasi yang beredar dapat diuji kebenarannya sebelum dibagikan.

Gunakan katalog pustaka digital dari perpustakaan nasional, daerah, atau platform edukatif seperti Rumah Belajar (kemdikbud.go.id) untuk mencari sumber yang lebih sahih dan mendalam.

Libatkan lembaga pendidikan dan komunitas literasi dalam menyelenggarakan pelatihan berpikir kritis dan penyaring hoaks secara berkala.

Maka, literasi sejati bukan sekadar kemampuan membaca teks, tetapi kemampuan menafsirkan, mengevaluasi, dan bertindak bijak terhadap informasi yang diterima.

Masyarakat yang hanya membaca dari satu sumber dan tidak menelusuri informasi sampai tuntas berisiko besar terjebak dalam misinformasi.

Oleh karena itu, anak-anak perlu di arahkan sejak dini untuk membaca dengan menyeluruh dan kritis; remaja perlu diedukasi agar tidak hanya mengikuti opini viral dan orang tua perlu dibekali keterampilan digital agar mampu memilah informasi dari grup media sosial.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang cerdas dan tangguh, maka langkah pertama yang harus kita benahi adalah cara kita membaca dan menyerap informasi. (Red)

*) Penulis: Syuhada Bahri Robbani, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Institute Bisnis dan Komunikasi Swadaya, Jakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo