
Oleh: Zaenal Abidin *)
SUARAMUDA – Belakangan ini, media sosial kita diramaikan dengan kisah seorang penjual es teh bernama Sunhaji, warga Magelang, yang mendadak menjadi pusat perhatian. Video beliau, yang dipicu oleh olokan spontan dari KH. Miftah Maulana Habiburrahman atau yang lebih dikenal dengan Gus Miftah dalam sebuah pengajian, menjadi viral. Sunhaji tiba-tiba menjadi simbol simpati dan empati netizen, bahkan mendapat aliran donasi dari berbagai penjuru. Tetapi, di balik semua itu, muncul pertanyaan besar: apakah ini berkah dari sebuah olokan atau tanda lemahnya sensitivitas dalam berdakwah?
Gus Miftah dan Gaya Dakwah yang Unik
Gus Miftah bukanlah sosok baru di dunia dakwah. Beliau dikenal dengan pendekatannya yang tidak biasa, menyasar komunitas marjinal seperti pekerja di dunia malam, lokalisasi, dan klub malam. Di tempat-tempat tersebut, gaya dakwah yang ceplas-ceplos, penuh humor, dan kadang disertai bahasa kasar menjadi metode untuk membangun kedekatan dengan audiens yang jauh dari lingkungan religius pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Miftah memainkan peran penting sebagai jembatan antara agama dan masyarakat yang termarjinalkan.
Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika gaya komunikasi tersebut dibawa ke panggung dakwah yang lebih luas, dengan audiens yang lebih heterogen. Pada pengajian umum di mana Sunhaji hadir, ujaran “goblok” yang dilontarkan Gus Miftah menjadi pemicu kontroversi besar. Ujaran tersebut, meski mungkin dimaksudkan sebagai candaan, justru melukai hati banyak orang, termasuk netizen yang menyaksikannya.
Kritik, Kebencian, dan Diskreditisasi
Setelah video tersebut viral, gelombang kritik terhadap Gus Miftah datang bertubi-tubi. Tidak hanya kritik terhadap ucapannya, serangan juga diarahkan pada kapasitas beliau sebagai pendakwah. Meme-meme bernada sindiran, komentar pedas, hingga tuntutan agar beliau meninggalkan dunia dakwah bermunculan di berbagai platform. Bahkan, banyak pihak yang memanfaatkan insiden ini untuk mendiskreditkan Gus Miftah sebagai tokoh NU.
Kritik semacam ini, meski pada satu sisi memiliki dasar, telah melampaui batas konstruktif. Gus Miftah dianggap tidak layak menyandang gelar “Gus” atau “Kiai”, hingga kapabilitasnya sebagai pendakwah diragukan. Lebih jauh, ini menjadi amunisi baru bagi pihak-pihak yang tidak sejalan dengan NU untuk menyerang institusi tersebut secara keseluruhan.
Yang perlu kita sadari, kritik adalah bagian penting dari pembelajaran. Namun, ketika kritik berubah menjadi kebencian, dampaknya tidak hanya merugikan individu, tetapi juga komunitas yang lebih luas. Dalam kasus Gus Miftah, kebencian ini telah diperluas untuk menyerang dai-dai muda NU lainnya seperti Gus Iqdam, Ustadzah Mumpuni, atau Ning Umi Laila.
Mengakui Kesalahan, Membangun Refleksi
Gus Miftah sendiri telah menunjukkan sikap ksatria dengan mengakui kesalahannya. Beliau menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada Sunhaji dan kepada publik. Lebih jauh lagi, beliau memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Moderasi Beragama—sebuah posisi prestisius yang menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadapnya.
Namun, sikap ini tampaknya belum cukup untuk meredakan amarah publik. Banyak yang masih mempermasalahkan gaya dakwah Gus Miftah, membandingkannya dengan pendakwah lain yang lebih lembut dan santun. Video pendek yang berisi pesan dari KH. Musthofa Bisri tentang akhlak Rasulullah dalam berdakwah, misalnya, dijadikan alat untuk membandingkan dan menyoroti kekurangan Gus Miftah.
Antara Kelebihan dan Kekurangan
Tidak dapat disangkal bahwa Gus Miftah memiliki kelebihan yang jarang dimiliki pendakwah lain. Keberaniannya masuk ke “zona hitam” seperti dunia malam dan lokalisasi adalah bukti komitmennya untuk berdakwah kepada mereka yang sering diabaikan. Di sisi lain, gaya komunikasinya yang kasar dan ceplas-ceplos, meski efektif di lingkungan tersebut, menjadi tantangan besar ketika harus disesuaikan dengan audiens yang lebih luas.
Sebagai manusia, Gus Miftah tidak lepas dari kekurangan. Namun, fokus kita seharusnya bukan pada menguliti kesalahannya, melainkan pada bagaimana membangun lingkungan dakwah yang lebih inklusif dan efektif. Kritik yang membangun adalah cara terbaik untuk mengingatkan beliau, bukan kebencian yang memperkeruh keadaan.
Kisah ini adalah refleksi besar bagi kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Pertama, kita belajar bahwa setiap tindakan publik, terutama dalam berdakwah, membutuhkan sensitivitas tinggi terhadap audiens. Kedua, kita diingatkan bahwa kritik yang sehat harus berdasar pada niat untuk memperbaiki, bukan untuk meruntuhkan.
NU, sebagai organisasi, juga diuji dalam menghadapi situasi ini. Gus Miftah adalah salah satu aset besar NU, sebagaimana para dai muda lainnya. Menjaga dan membimbing mereka adalah tanggung jawab bersama. Dalam bahasa Jawa, “Tego lorone ora tega patine”—kita boleh mengkritik kesalahan, tetapi tidak boleh sampai menghancurkan seseorang.
Akhir kata, mari kita ambil pelajaran dari kisah ini. Bahwa setiap ujian, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kekayaan, jabatan, atau ketenaran, adalah bagian dari perjalanan hidup. Semoga kita semua bisa melewati ujian-ujian ini dengan baik, tanpa kehilangan rasa keadilan dan empati.
Tabik.
Oleh: Zaenal Abidin
Wakil Ketua MWC NU Sukorejo Kendal, Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal