
Oleh: Nazlal Firdaus Kurniawan
Peneliti Alfa Institute
SUARAMUDA – Jagad maya kembali dihebohkan oleh video viral KH Miftah Maulana Habiburrahman, atau yang akrab disapa Gus Miftah, yang dianggap “kontroversial”. Dalam video tersebut, pendakwah asal Sleman ini terlihat melontarkan kata-kata yang dianggap merendahkan seorang pedagang es teh bernama Sonhaji di acara pengajiannya.
Namun, tak lama setelah video itu ramai diperbincangkan, Gus Miftah bersama rombongannya mendatangi rumah Sonhaji untuk meminta maaf secara langsung. Permintaan maaf ini dilakukan di tengah kritik dari berbagai pihak, termasuk teguran dari Presiden Prabowo Subianto dan Sekretaris Kabinet.
Sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, tindakannya dianggap mencederai posisi yang ia emban.
Dalam klarifikasinya, Gus Miftah mengaku bahwa ucapannya merupakan bentuk candaan yang biasa ia lontarkan saat ceramah. Meski demikian, kritik dari masyarakat menunjukkan bahwa tidak semua candaan dapat diterima dalam konteks tertentu, terutama jika berpotensi merendahkan orang lain.
Di sisi lain, Sonhaji, sang penjual es teh, dengan besar hati memaafkan tindakan tersebut. Tidak hanya itu, kejadian ini justru membawa berkah bagi dirinya. Berbagai pihak menunjukkan simpati, memberikan bantuan materi hingga bernilai ratusan juta rupiah, dan ada yang menjanjikan pemberangkatan umrah untuknya pada bulan Ramadan mendatang.
Kisah Pedagang yang Diangkat Derajatnya
Kisah Sonhaji menggambarkan bagaimana Allah SWT dapat membalikkan keadaan dengan cara-Nya. Dari seorang pedagang kecil yang sempat dipermalukan, ia diangkat derajatnya dan mendapatkan perhatian serta doa dari banyak orang.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang memuliakan pedagang jujur, bahwa “9 dari 10 pintu rezeki ada dalam perdagangan.”
Namun, fenomena ini juga menyisakan pelajaran penting. Meskipun Gus Miftah mendapat kritik atas tindakannya, beberapa netizen justru menirunya dengan ujaran kebencian yang sama.
Kritik memang penting, tetapi cara menyampaikannya juga harus beradab. Jika kritik dilontarkan dengan hinaan, maka apa bedanya dengan tindakan yang dikritik?
Fenomena Media Sosial dan Budaya Parodi
Fenomena seperti ini menunjukkan kecenderungan jagad maya yang sering memperbesar isu dengan parodi atau candaan yang tidak konstruktif.
Kasus ini mengingatkan pada insiden lain di mana seorang pemuda meminta maaf setelah mengambil handphone milik orang lain, tetapi di akhir videonya meminta maklum karena “manusia tempatnya khilaf.” Netizen malah memarodikan klarifikasi tersebut, memperpanjang polemik tanpa solusi.
Ke depan, besar kemungkinan tren “memborong dagangan” pedagang kecil oleh tokoh terkenal akan bermunculan, baik dari pendakwah maupun figur publik lainnya. Namun, hal ini juga bisa menimbulkan sikap sinis jika dilakukan hanya untuk menaikkan citra.
Setiap kejadian memiliki hikmah yang bisa dipetik. Dalam kasus ini, Gus Miftah dan Sonhaji telah berdamai dan saling memaafkan. Namun, masyarakat diharapkan dapat belajar untuk menjaga adab dalam menyikapi perbedaan. Ketika pandangan berbeda muncul, tata krama dan tutur kata yang baik harus dikedepankan, sebagaimana diajarkan Islam.
Firman Allah SWT dalam Surat al-Nahl ayat 125 menegaskan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Inti dari dakwah dan interaksi sosial adalah hikmah dan kebijaksanaan. Dalam perbedaan pendapat, kuncinya adalah komunikasi yang santun, dengan intonasi lembut dan sikap yang menghormati lawan bicara. Dengan begitu, masyarakat bisa menghindari konflik yang tidak perlu dan menjaga harmoni.
Kisah Gus Miftah dan Sonhaji mengingatkan kita bahwa setiap peristiwa, baik manis maupun pahit, adalah bagian dari pelajaran hidup. Yang lebih penting adalah bagaimana kita meresponsnya dengan cara yang bijaksana dan beradab.
*Penulis merupakan Aktivis Muda NU yang sekarang berkhidmat di LTN PWNU Jateng