Tragedi Irene Sokoy dan Retaknya Sistem Kesehatan Kita

Mendiang Irene Sokoy. (Foto: Dok. Keluarga)

Oleh: Yohanes Soares*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kasus meninggalnya Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya yang viral karena ditolak oleh empat rumah sakit di Kabupaten/Kota Jayapura bukan sekadar kegagalan klinis individual.

Ini adalah cermin retak dari sistem kesehatan yang masih gagal menerjemahkan undang-undang, etika medis, dan janji konstitusi menjadi praktik pelayanan yang nyata di lapangan.

Peristiwa ini menuntut kita membaca lebih jauh, bukan hanya siapa yang salah hari itu, tetapi mengapa rangkaian penolakan bisa terjadi sama sekali.

Pertama, ada masalah tata kelola dan pertanggungjawaban institusional. Reaksi politik dari DPR maupun kementerian yang memerintahkan evaluasi dan pengiriman tim analisis memang penting, tetapi respons reaktif pasca-tragedi tidak cukup jika tidak diikuti sanksi tegas dan perubahan prosedur permanen.

Audit administratif yang diperintahkan oleh pimpinan negara harus diikuti dengan publikasi temuan, perbaikan SOP IGD, dan mekanisme pengawasan eksternal pada fasilitas kesehatan, khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Tanpa transparansi itu, evaluasi mudah jadi ritual legitimasi tanpa substansi.

Kedua, ada masalah kapasitas dan kesiapan layanan darurat di daerah. Berita-berita mengulang soal lemahnya sistem IGD, ketiadaan rujukan cepat, dan kurangnya koordinasi antar-fasilitas, semua ini bukan sekadar soal jumlah dokter atau peralatan, ini soal desain sistem layanan darurat yang responsif terhadap kondisi lokal.

Ketika layanan primer dan rumah sakit tidak terintegrasi dalam jalur rujukan yang jelas, pasien hamil berisiko tinggi menjadi korban birokrasi.

Perbaikan harus mencakup pelatihan triase, jalur rujukan yang tidak bisa diabaikan, dan sistem transportasi medis darurat yang nyata bukan sekadar janji.

Ketiga, dimensi diskriminasi dan akses harus menjadi bagian dari analisis. Komnas Perempuan menegaskan harapannya agar kasus ini tidak terulang, menandakan adanya kekhawatiran bahwa perempuan, khususnya di wilayah marjinal, masih menghadapi hambatan struktural dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.

Ketika pasien ditolak berulang kali, kita harus menanyakan, apakah ada praktik diskriminatif, miskomunikasi bahasa, atau persyaratan administratif yang tidak realistis bagi warga setempat?

Kajian independen yang juga melihat aspek hak asasi dan gender wajib dilakukan.
Keempat, respons negara harus melampaui narasi simpati politik.

Pernyataan prihatin, instruksi evaluasi, dan pengiriman tim, semuanya perlu diukur dengan indikator konkret, penegakan sanksi bagi fasilitas yang melanggar kewajiban memberikan pertolongan darurat, program perbaikan IGD, peningkatan kapasitas layanan maternitas di wilayah 3T.

Serta, mekanisme pengaduan pasien yang mudah diakses dan ditindaklanjuti. Jika tidak, korban akan terus berganti nama sementara sistem tetap utuh.

Akhirnya, tragedi ini harus jadi pemicu refleksi publik, seberapa besar nilai hidup warga di daerah terpencil dalam kebijakan kesehatan nasional?

Negara yang sahih menilai keberhasilan bukan hanya dari angka vaksinasi atau pembangunan gedung rumah sakit, tetapi dari kemampuan sistem menyelamatkan nyawa paling rentan, ibu dan bayi.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media harus terus mengawal proses audit dan reformasi, agar kasus Irene tidak lenyap menjadi berita satu hari saja, melainkan memicu perubahan sistemik yang nyata. (Red)

*) Penulis: Yohanes Soares, aktivis sosial dan mahasiswa S3 Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like