Selamat Hari Guru (Honorer), Pilar Pendidikan yang Bertahan di Atas Janji yang Tertunda

(Ilustrasi: pinterest)

Oleh: Badat Alauddin*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap tahun, bangsa ini merayakan Hari Guru Nasional dengan kesungguhan yang nyaris ritualistik. Upacara digelar rapi, puisi dibacakan dengan suara bergetar, dan kamera pejabat bekerja lebih sibuk dari biasanya.

Namun di balik panggung seremonial yang penuh simbol penghormatan itu, ada kenyataan yang terus berulang, jutaan guru honorer merayakan hari ini dengan hati yang lebih berat daripada amplop honor yang mereka terima.

Menurut riset IDEAS bersama GREAT Edunesia, Indonesia memiliki sekitar 2,6 juta guru honorer, sebagian besar dengan penghasilan yang bahkan tidak menembus ambang hidup layak.

Sebanyak 74% dari mereka digaji di bawah Rp 2 juta, dan 20,5% digaji di bawah Rp 500 ribu per bulan. Angka yang membuat kita bertanya, bagaimana negeri ini bisa berharap pada kualitas pendidikan, ketika kualitas hidup pendidiknya sendiri nyaris tidak diperhatikan?

Yang lebih ironis, sistem pendidikan nasional justru mengandalkan mereka. Para guru honorer, yang gajinya sangat bergantung pada Dana BOS, mengisi ruang-ruang kelas yang kekurangan guru ASN.

Tanpa mereka, sekolah-sekolah di ribuan wilayah langsung lumpuh. Namun keberadaan mereka di lapangan tidak menjamin kehadiran mereka dalam prioritas kebijakan.

Pemerintah memang mengumumkan kabar baik, mulai 2025, guru honorer yang sudah lulus PPG akan menerima tambahan Rp 2 juta. Sebuah langkah positif, tetapi sayangnya hanya dapat dinikmati oleh kelompok yang sudah memenuhi syarat administratif yang tidak mudah.

Untuk guru yang sudah sertifikasi sebelum 2024, tambahan itu bahkan menyempit menjadi sekitar Rp 500 ribu.

Dalam suasana optimistis, angka-angka tersebut tampak menjanjikan. Namun jika dibandingkan dengan data kebutuhan hidup di berbagai daerah, tambahan ini hanyalah bantalan tipis pada struktur kesejahteraan yang rapuh.

Apalagi jika kita menyadari bahwa sebagian guru honorer di daerah masih digaji di bawah Rp 300.000 jauh dari layak, untuk ukuran seorang pendidik

Kita sering mendengar bahwa Indonesia kekurangan ratusan ribu guru. Pada saat yang sama, jutaan guru honorer mengajar tanpa kepastian status, menunggu kesempatan menjadi PPPK atau ASN seperti menunggu hasil undian.

Mereka menanggung beban administratif yang berat, tanggung jawab yang sama dengan guru ASN, tetapi dengan penghargaan yang jauh berbeda.

Di sisi lain, ada suara dari parlemen yang dengan lantang menyatakan bahwa gaji ideal guru selayaknya mencapai Rp 25 juta per bulan agar profesi ini mendapatkan martabat yang semestinya.

Tentu pernyataan itu ideal, namun jaraknya dari kenyataan terasa selebar jurang antara visi nasional dan isi rekening guru honorer tiap akhir bulan.

Tak banyak yang mengetahui bahwa setelah berdiri berjam-jam mengajar, banyak guru honorer pulang dengan transportasi yang hampir menyerah, membayar bensin dengan uang kembalian belanja, dan makan malam seadanya.

Sebagian bahkan dikejar notifikasi pinjaman online yang limitnya justru lebih tinggi daripada gaji mereka. Sebuah ironi yang hanya bisa berlangsung di negeri yang begitu mencintai guru dalam pidato, tetapi begitu pelit dalam kebijakan.

Namun mereka tetap datang ke sekolah setiap pagi, berdiri di depan kelas, mengajar dengan kesabaran yang tak tergoyahkan. Tidak ada profesi lain yang menuntut tingkat keikhlasan setinggi ini.

Perayaan Hari Guru Nasional seharusnya bukan sekadar panggung untuk membaca puisi dan membagikan bunga.

Ini adalah waktu untuk melihat kembali struktur pendidikan yang selama bertahun-tahun berjalan dengan fondasi yang rapuh, guru honorer yang bekerja tanpa perlindungan, tanpa kepastian, dan tanpa penghargaan yang setara dengan kontribusinya.

Jika kita sungguh ingin menghormati mereka, maka kebijakan publik harus bergerak lebih cepat daripada retorika. Sertifikasi harus dipermudah, skema penggajian harus ditingkatkan, dan status mereka harus dipastikan tanpa harus menunggu puluhan tahun.

Kita berhutang terlalu banyak pada guru honorer, mereka adalah pilar tak bernama yang menopang sekolah-sekolah di kota hingga pelosok. Mereka bukan sekadar tenaga cadangan, merekalah tulang punggung yang membuat pendidikan Indonesia tetap berjalan.

Tahun ini, ketika kita kembali mengucapkan “Selamat Hari Guru”, seharusnya kita juga bertanya: sudahkah kita benar-benar menghargai mereka?

Karena hormat yang paling jujur bukanlah puisi, seremonial, atau spanduk motivasi. Hormat yang paling jujur adalah kebijakan yang mampu memastikan bahwa mereka hidup dengan martabat, bukan hanya mengabdi dalam kesabaran. (Red)

*) Penulis: Badat Alauddin, Kepala MTs Al-Muhsin Yogyakarta

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like