Dari Zoom ke Zonk: Cerita Anak Stunting Akademik Diminta Jago Matematika

Ilustrasi: pinterest

Oleh: Ali Achmadi*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Beberapa hari ini timeline rame. Pangkal masalahnya sederhana: Pak Menteri Dikdasmen bilang “Nilai TKA Matematika 2025 anjlok bukan karena muridnya goblok, tapi mungkin cara kita mengajarkannya dan bukunya tidak mendorong mereka untuk belajar.”

Mau ketawa, takut dosa. Seolah olah pemerintah bilang: makanan hambar ini salah bumbu, padahal berasnya sudah basi sejak 2020. Siswa SMA/MA yang dites TKA tahun ini itu “angkatan pandemi”.

Tahun 2020 mereka baru kelas 7—masa transisi krusial. Di usia inilah otak manusia seharusnya beralih dari pemikiran konkret (angka 1, 2, 3) ke pemikiran abstrak (variabel x, y, z). Ini adalah masa “aqil baligh“-nya matematika. Tapi apa yang terjadi? Pandemi menyerang. Sekolah ditutup.

Tapi apa yang mereka dapat? Bukan guru. Bukan papan tulis. Yang mereka dapat hanyalah Zoom patah-patah dan HP 5 inci yang lebih sering dipakai mabar daripada belajar. Bank Dunia bahkan bilang learning loss mereka setara hilang 18–27 bulan.

Dua tahun, Pak Menteri. Bukan dua minggu. Lalu sekarang negara datang membawa TKA model “soal untuk manusia super” dan Pak Menteri kaget karena anak-anak ini nggak bisa jawab?

Itu sama seperti nyuruh orang yang kakinya patah waktu pandemi buat lari marathon 50 km, lalu nanya: “Lho kok pelan? Jangan-jangan sepatumu jelek?”

Ada tiga dosa besar yang entah kenapa tidak disebut pak Menteri
1. Kurikulum Darurat: anak diberi materi diet waktu SMP, tapi dites pakai porsi “kuli” waktu SMA.
Saat pandemi, guru dibekali Kurikulum Darurat: materi disunat, latihan disederhanakan. Tapi sekarang mereka diuji dengan standar tinggi seperti biasa.

Ibarat tiga tahun makan bubur encer, tiba-tiba disuruh makan seblak level pedas 5. Buku ajar SMA ditulis dengan asumsi siswa sudah kenyang materi SMP. Padahal kenyang dari mana? Yang ada stunting akademik.

2. Distraksi Digital: Zoom Dibuka, Tapi Jiwa Jalan-jalan;
Jangan munafik. Kita semua tahu apa yang terjadi saat sekolah daring. Selama pembelajaran daring, siapa yang betul-betul menyimak Zoom? Yang paling sering hadir hanya foto profil, bukan siswanya.

Riset KPAI menyatakan bahwa selama pembelajara daring pendampingan orang tua minim. Laptop memang buka Zoom. Tapi HP buka TikTok. Kepala buka Mobile Legends. Jiwa mereka ke mana? Tidak ada yang tahu.

3. Tidak Ada UN: mereka naik kelas tanpa pernah benar-benar diuji.
UN dulu banyak dihujat. Tapi UN itu ibarat latihan sparring buat atlet. Tanpa sparring, mental kompetisi tumpul. Ketika UN dihapus, pandemi datang, kurikulum dipangkas, dan kelas daring tidak efektif, akhirnya mereka naik kelas tanpa pernah benar-benar duel.

Mereka naik kelas jalur pandemi: tanpa ketat, tanpa sparring, tanpa ujian yang bikin keringat dingin. Ketika TKA 2025 tiba dengan soal model HOTS yang menuntut kepintaran platinum edition, mereka langsung patah mental. Bukan karena bodoh. Tapi karena kaki mereka pernah patah pada 2020, dan kita tidak pernah menggips dengan benar.

Jadi, Salah Siapa? Buku? Guru? Oh, Pak Menteri… Guru hari ini bukan kurang usaha. Yang kurang itu pemahaman sistemik bahwa generasi ini punya sejarah luka yang panjang.

Pandemi bukan sekadar pagebluk. Ia mencabut masa belajar paling kritis dalam hidup anak-anak ini. Buku bisa diperbaiki. Guru bisa dilatih.

Tapi yang hilang di 2020–2022 tidak akan kembali. Dan ternyata sistem yang ada tidak siap menghadapi kekacauannya. TKA 2025 bukan tragedi kecerdasan. Ini cuma negara panik melihat bayangannya sendiri.

*) Penulis: Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like