58 Tahun KOPRI: Dari Gerakan Identitas Menuju Gerakan Perubahan Perempuan Muda

Oleh: Ike Nurul Fitrotus Shoimah*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tanggal 25 November selalu punya arti khusus bagi kader KOPRI di berbagai daerah. Bukan sekadar peringatan ulang tahun organisasi, tapi momen untuk menimbang ulang: sejauh mana KOPRI masih relevan dengan realitas perempuan muda hari ini.

Memasuki usia ke-58 di tahun 2025, KOPRI berdiri di titik yang tidak mudah. Terlalu dewasa untuk bersandar pada romantisme sejarah, tapi justru di situlah ia dituntut memperbarui cara berpikir dan cara bergeraknya.

Sejarah kelahiran KOPRI tidak bisa dilepaskan dari pergulatan perempuan muda Islam yang ingin keluar dari bayang-bayang struktur patriarki dalam ruang gerakan mahasiswa.

Sejak awal, KOPRI bukan sekadar ruang kumpul kader perempuan, tapi wadah untuk membangun kesadaran kritis, membongkar ketimpangan gender, dan menegaskan posisi perempuan sebagai subjek perubahan.

Spirit ini yang seharusnya terus dirawat, bukan hanya dijadikan slogan setiap perayaan harlah. Sayangnya, tantangan perempuan hari ini jauh lebih kompleks dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.

Di satu sisi, perempuan semakin terlihat di ruang publik, semakin banyak yang menjadi pemimpin komunitas, aktivis, dosen, politisi, dan pengambil kebijakan.

Namun di sisi lain, ancaman terhadap perempuan juga semakin beragam, dari kekerasan berbasis gender, persekusi digital, hingga tekanan sosial yang menuntut perempuan tetap tunduk pada standar patriarkal yang halus tapi mengikat.

Tahun 2025 menjadi contoh nyata. Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di rumah atau ruang kerja, tapi juga di dunia maya. Perempuan muda yang kritis dan vokal sering menjadi sasaran perundungan, body shaming, hingga doxing.

Di pendidikan, narasi tentang kesetaraan masih sering kalah oleh doktrin budaya yang menempatkan perempuan sebagai “pengikut”, bukan pengambil keputusan.

Ironi juga terlihat pada isu representasi. Secara angka, keterwakilan perempuan dalam politik dan birokrasi meningkat. Namun secara kualitas, belum semua benar-benar mampu memperjuangkan agenda keadilan gender.

Banyak yang masih terjebak dalam struktur maskulin yang memaksa mereka menyesuaikan diri, bukan mengubah sistem. Akibatnya, suara perempuan di ruang publik sering kehilangan daya kritisnya.

Dalam kondisi seperti ini, KOPRI tidak cukup hanya menjadi simbol atau identitas organisasi. Ia harus naik satu tingkat menjadi gerakan transformasi. Gerakan yang berani mengganggu kenyamanan sistem yang timpang, bukan menyesuaikan diri dengan sistem itu.

Kader KOPRI ke depan dituntut bukan hanya aktif di forum-forum diskusi internal, tapi hadir di ruang-ruang strategis: dari advokasi kebijakan, pendidikan publik, hingga gerakan digital.

Mereka perlu dibekali kemampuan riset sosial, literasi media, pemahaman soal ekonomi politik, serta keterampilan mengorganisir komunitas perempuan di akar rumput.

Isu yang dihadapi perempuan juga semakin lintas sektor. Perempuan nelayan terdampak krisis iklim dan rusaknya ekosistem pesisir. Perempuan petani menghadapi persoalan tanah dan akses modal.

Perempuan muda di kota menghadapi eksploitasi digital dan tekanan standar tubuh. Semua ini membutuhkan respon gerakan yang tidak sektoral, tetapi terhubung satu sama lain.

Karena itu, penguatan kaderisasi harus menjadi prioritas. Sekolah Kader KOPRI idealnya tidak hanya berisi materi ideologi dan sejarah organisasi, tapi juga pelatihan advokasi, manajemen gerakan, riset kebijakan, hingga perlindungan korban kekerasan berbasis gender.

KOPRI juga perlu lebih terbuka berkolaborasi dengan komunitas perempuan lintas latar belakang, akademisi, lembaga negara, sampai dunia usaha, selama tujuannya tetap berpihak pada keadilan sosial. Yang tidak boleh dilupakan, KOPRI punya tanggung jawab moral sebagai gerakan perempuan Islam.

Di tengah gempuran narasi konservatif yang seringkali meminggirkan perempuan atas nama agama, KOPRI harus konsisten menyuarakan bahwa Islam adalah nilai yang memuliakan manusia, tanpa membedakan jenis kelamin. Kesetaraan bukan ancaman bagi agama, tapi justru bagian dari keadilan yang diajarkannya.

Perempuan kuat bukan soal siapa paling keras bersuara, tapi siapa yang mampu bertahan, berpikir jernih, membangun solidaritas, dan terus bergerak meski sistem tidak ramah.

Indonesia hebat bukan lahir dari retorika, tapi dari keberanian memberi ruang bagi semua warganya, termasuk perempuan, untuk tumbuh dan memimpin.

Di usia 58 tahun ini, KOPRI berada di persimpangan penting. Ia bisa memilih nyaman sebagai identitas organisasi yang dirayakan setahun sekali, atau melangkah lebih jauh sebagai gerakan perubahan yang benar-benar mengubah wajah relasi sosial di negeri ini.

Sejarah telah memberi fondasinya. Tugas generasi hari ini adalah melanjutkannya dengan cara yang lebih relevan, lebih berani, dan lebih membumi. (Red)

*) Ike Nurul Fitrotus Shoimah, Aktivis Perempuan Lamongan, Demisioner Ketua KOPRI PC PMII Lamongan Periode 2024-2025

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like