Harimau Sumatera: Krisis Populasi dan Tanggung Jawab Konservasi Berbasis Teknologi

Ilustrasi harimau Sumatera. (Gambar: pinterest)

Oleh: Mela Karsih Anindiah *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Harimau Sumatera bukan hanya sebagai satwa karismatik yang menjadi simbol keanekaragaman hayati Indonesia, tetapi juga sebagai indikator kesehatan ekosistem hutan tropis Sumatra.

Populasi yang kini diperkirakan hanya sekitar 400–600 ekor di alam liar menunjukkan betapa gentingnya kondisi konservasi satwa ini. Penurunan drastis dari ribuan individu beberapa dekade lalu menjadi alarm keras bahwa kita sedang menghadapi krisis yang nyata.

Ancaman utama yang dihadapi Harimau Sumatera adalah deforestasi, fragmentasi habitat, perburuan ilegal, serta konflik dengan manusia.

Fragmentasi habitat membuat populasi terisolasi dalam kantong-kantong kecil, sehingga mengurangi peluang reproduksi dan meningkatkan risiko kepunahan lokal.

Perburuan, yang didorong oleh permintaan pasar gelap atas bagian tubuh harimau, semakin memperparah situasi. Sebagai mahasiswa biologi, saya menilai bahwa ancaman ini bukan sekadar masalah ekologi, tetapi juga masalah sosial dan hukum yang harus ditangani secara terpadu.

Namun, di tengah krisis ini, teknologi modern memberi harapan baru. Penggunaan kamera jebak memungkinkan identifikasi individu harimau tanpa mengganggu mereka, sementara drone dan GPS collar membantu memantau pergerakan dan mendeteksi aktivitas ilegal di hutan.

Lebih jauh lagi, penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam analisis data besar dari kamera, sensor akustik, dan GPS membuka peluang untuk prediksi konflik manusia-harimau serta deteksi dini perburuan liar.

Sebagai penstudi Biologi, saya melihat integrasi teknologi ini sebagai bentuk inovasi yang harus terus dikembangkan, karena konservasi satwa besar seperti harimau tidak lagi bisa hanya mengandalkan metode tradisional.

Selain teknologi, pendekatan in-situ dan ex-situ tetap menjadi pilar utama konservasi. In-situ memastikan harimau tetap hidup di habitat alaminya melalui pengelolaan kawasan konservasi, patroli anti-perburuan, dan restorasi hutan.

Ex-situ, seperti penangkaran di taman margasatwa, berperan sebagai cadangan genetik sekaligus sarana edukasi masyarakat. Kedua pendekatan ini harus berjalan beriringan, dengan dukungan kebijakan yang kuat dan penegakan hukum yang tegas terhadap perdagangan ilegal.

Saya berpendapat bahwa konservasi Harimau Sumatera bukan hanya soal menyelamatkan satu spesies, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat luas.

Harimau adalah predator puncak; hilangnya mereka akan mengganggu rantai makanan dan menurunkan kualitas ekosistem hutan. Oleh karena itu, konservasi harimau harus dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia. (Red)

*) Penulis: Mela Karsih Anindiah, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like