Oleh: Julaiha *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kasus pembalakan liar yang terjadi di kawasan Hutan Lindung Harangan Repa, Simalungun, adalah gambaran pahit dari kegagalan perlindungan lingkungan dan penegakan hukum. Area Harangan Repa merupakan hutan penyangga kawasan Danau Toba.
Dalam hal ini fakta menyatakan bahwa KPH Wilayah II Pematangsiantar menyita chainsaw dan melaporkan pelaku ke polisi menunjukkan keseriusan, tetapi di balik itu terdapat pertanyaan besar: apakah tindakan ini sekadar simbolik, atau awal dari perubahan nyata?
Penebangan terjadi di kawasan yang berstatus Hutan Kemasyarakatan (HKm) Lestari—penyangga penting kawasan Danau Toba. Harangan Repa bukan hutan sepi yang bisa dijarah di balik gelap malam: ada plang peringatan dan ancaman longsor, tetapi pelaku tetap nekat menggunduli pohon.
Permasalahan ini bukan sekadar tindakan kriminal; ini adalah penghinaan terhadap fungsi ekologis hutan sebagai pelindung bagi warga setempat.
Dampak potensial dari pembalakan liar ini sudah jelas dirasakan oleh masyarakat sekitar dengan menimbulkan masalah lingkungan seperti terjadinya longsor dan berkurangnya sumber mata air.
Ketakutan yang di rasakan ini bukan berlebihan: jika akar pohon yang menahan tanah hilang, lereng akan lebih rentan runtuh. Risiko ekologis ini sama sekali tidak bisa disepelekan, apalagi ketika berbicara tentang hutan lindung yang mestinya menjaga keselamatan warga sekitarnya.
Terdapat keanehan pada permasalahan ini yang dimana kurangnya transparansi. Pihak KPH tak mau mengungkap berapa luas hutan yang sudah rusak. Ketertutupan informasi seperti ini justru menimbulkan kecurigaan, apakah kerusakan terlalu besar sehingga sulit ditepis?Atau ada aktor yang tidak ingin angka sebenarnya diketahui publik?
Bedasarkan isu kehutanan, ketidakjelasan selalu berbahaya karena memberi ruang bagi pembalakan berulang. Pertanyaannya: bagaimana mungkin orang luar bisa menebang di hutan lindung tanpa ada yang melihat atau mencegah sejak awal?
Jika pengawasan hutan di Indonesia selalu baru bergerak setelah kerusakan berada di depan mata, maka jangan heran jika deforestasi semakin menjadi tradisi yang tak pernah putus.
Dalam persoalan ini dapat kita buktikan kurangnya pemahaman masyarakat dalam menjaga ekosistem dan kurangnya peran pemerintah dalam pengawasan serta penanganan terhadap kelestarian hutan.
Pemerintahan masih memandang permasalahan ini belum serius dalam menangani kerusakan hutan yang terjadi. Padahal, sudah di ketahui bedasarkan undang-undang UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tujuannya tak lain untuk melindungi hutan hutan indonesia dari kerusakan agar tetap menjaga kelestarian hutan dan keseimbangaan ekosistem tetap berjalan untuk keberlanjutan makhluk hidup.
Penegak hukum dalam hal ini baik LPPH, polisi kehutanan serta kejaksaan harus lebih menindak tegasi bagi pelaku harus di hukum seberat – beratnya yang sangat merugikan masyarakat dengan keserakahan tanpa memikirkan sebab dan akibat yang akan terjadi.
Pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan harus berkerja sama dalam melindungi hutan dari orang–orang yang ingin merusaknya. Dengan demikian, solusi yang harus segera dilakukan antara lain.
1. Penegakan hukum tegas dan transparan. Polres Simalungun dan instansi kehutanan harus memastikan proses penyidikan berjalan cepat dan adil, hingga pelaku menerima hukuman sesuai UU lingkungan.
2. Pemulihan ekosistem
• Rencanakan program reforestasi di wilayah yang gundul, dengan partisipasi HKm lokal dan LSM lingkungan.
• Libatkan ahli ekologi untuk merancang restorasi yang tidak hanya menanam pohon, tetapi juga mengembalikan fungsi hidrologis hutan (akar, struktur tanah, dan lainnya).
3. Penguatan partisipasi masyarakat
• Adakan pelatihan dan edukasi ke warga tentang pentingnya menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan, bukan hanya ladang kayu.
4. Sistem transparansi dan sosial kontrol
• Publikasi rutin data kerusakan hutan (luas, jenis pohon, lokasi) agar masyarakat dan media bisa ikut mengawal.
• Bentuk forum warga, pemerintah, dan LSM untuk advokasi dan pemantauan pelaksanaan tindakan pemulihan dan penegakan hukum.
5. Pendanaan dan kerja sama lintas sektor
• Pemerintah daerah dan provinsi bersama donor/lembaga konservasi bisa mengalokasikan dana restorasi.
• Menjalin kerja sama dengan akademisi, NGO lingkungan, dan sektor swasta untuk membangun model pengelolaan hutan yang ekonomis dan ramah lingkungan (misalnya ekowisata, agroforestri). (Red)
*) Penulis: Julaiha, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara