Oleh: Amanda Savira *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Way Kambas di Lampung bukan sekadar kawasan hutan konservasi. Pasalnya, Way Kambas adalah rumah terakhir bagi sebagian kecil dari total populasi Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis) yang tersisa di dunia.
Di tempat inilah, harapan untuk menyelamatkan spesies ikonik Indonesia itu dipertaruhkan melalui program penangkaran intensif di Sumatran Rhino Sanctuary (SRS).
Keberhasilan kelahiran beberapa individu badak di sana beberapa tahun terakhir menjadi bukti bahwa konservasi berbasis ilmu pengetahuan dan kerja lintas lembaga mampu memberi secercah harapan di tengah ancaman kepunahan yang nyata.
Namun, di balik keberhasilan itu, masih ada tantangan besar yang membayangi. Populasi liar badak Sumatera diperkirakan tinggal puluhan ekor saja, tersebar di kantong-kantong kecil yang terfragmentasi dan terisolasi.
Fragmentasi habitat akibat perluasan lahan pertanian, pembalakan liar, serta ancaman kebakaran hutan membuat ruang hidup badak semakin sempit.
Kondisi ini bukan hanya menghambat peluang reproduksi alami, tetapi juga meningkatkan risiko perkawinan sedarah (inbreeding) yang dapat menurunkan vitalitas genetik spesies.
International Rhino Foundation (IRF, 2024) melaporkan, tanpa intervensi serius, badak Sumatera dapat punah di alam liar dalam beberapa dekade mendatang.
Keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia masih menjadi hambatan utama. Konservasi bukan hanya soal menjaga hewan dari perburuan, tetapi juga membangun sistem ilmiah yang berkelanjutan: bank genetik, penelitian reproduksi konservasi, serta pemantauan ekologi jangka panjang.
Peneliti seperti Roth et al. (2024) menekankan pentingnya pemanfaatan bioteknologi dalam konservasi spesies langka, termasuk teknik inseminasi buatan dan penyimpanan sperma untuk menjaga keragaman genetik.
Sayangnya, teknologi ini masih terbatas penerapannya di Indonesia karena minimnya tenaga ahli dan investasi penelitian.
Menyelamatkan badak Sumatera bukan hanya tanggung jawab ilmuwan. Keterlibatan masyarakat lokal di sekitar Taman Nasional Way Kambas merupakan kunci keberhasilan konservasi jangka panjang.
Tanpa dukungan mereka, upaya pencegahan perusakan habitat dan perburuan liar tidak akan berjalan efektif.
Program konservasi berbasis masyarakat seperti agroforestry, pariwisata berkelanjutan, dan insentif ekonomi ramah lingkungan perlu diperluas agar masyarakat turut merasakan manfaat dari pelestarian hutan dan satwa di dalamnya.
Seperti yang dikatakan oleh pakar konservasi Asia, John Payne (Borneo Rhino Alliance, 2022), “Konservasi yang meminggirkan masyarakat lokal hanya akan menciptakan benturan kepentingan di kemudian hari.”
Langkah ke depan harus dilakukan dengan sifat integratif dan jangka panjang. Program penangkaran di SRS harus terus dikembangkan, tetapi juga harus diimbangi dengan pemulihan habitat alami dan pembangunan koridor satwa liar agar kelak individu hasil penangkaran dapat kembali hidup di alam.
Pemerintah, lembaga konservasi internasional, sektor swasta, dan masyarakat perlu bersinergi dalam skema pembiayaan berkelanjutan, bukan sekadar proyek jangka pendek. Tanpa komitmen bersama dan visi yang berorientasi masa depan, konservasi hanya akan menjadi simbol, bukan solusi.
Keberadaan badak Sumatera di Way Kambas adalah cermin dari kemampuan bangsa ini menjaga warisan alamnya. Keberhasilan atau kegagalannya akan menjadi ukuran sejauh mana kita mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan tanggung jawab ekologis.
Jika langkah-langkah strategis tidak segera ditempuh, maka generasi mendatang mungkin hanya mengenal badak Sumatera dari gambar di buku pelajaran, bukan dari hutan Sumatera yang sebenarnya. Kini saatnya kita bertindak—bukan sekadar berharap. (Red)
*) Penulis: Amanda Savira, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara