Menyelamatkan Orangutan Sumatera, Menyelamatkan Ekologi Hutan

POV: orangutan Sumatera. (gambar: pinterest)

Oleh: Luky Philipi Sembiring *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Deforestasi di Sumatera bukan sekadar kehilangan pepohonan, melainkan kehilangan jantung dari sistem kehidupan yang menopang ekosistem dan manusia.

Ketika hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dirambah demi perluasan perkebunan kelapa sawit, yang sesungguhnya hilang bukan hanya habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii), tetapi juga masa depan ekologis bangsa. Orangutan bukan hanya satwa karismatik; ia adalah simbol keseimbangan alam dan penentu regenerasi hutan tropis.

Orangutan Sumatera kini berstatus Critically Endangered (terancam kritis) menurut IUCN Red List. Artinya, spesies ini berada di ambang kepunahan di alam liar. Ancaman utama berasal dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, penebangan liar, dan lemahnya penegakan hukum.

Ironisnya, kebijakan tata ruang yang seharusnya melindungi kawasan konservasi justru sering memberi celah bagi eksploitasi. Di Aceh misalnya, rencana tata ruang yang disahkan sejak 2013 bahkan mengabaikan keberadaan Ekosistem Leuser, padahal kawasan ini menjadi benteng terakhir bagi sekitar 95% populasi orangutan Sumatera yang tersisa.

Deforestasi menghadirkan efek domino yang kompleks. Hilangnya hutan berarti hilangnya habitat dan sumber makanan, menyebabkan fragmentasi populasi.

Orangutan yang terisolasi di kantong-kantong hutan kecil kehilangan keragaman genetik dan kesulitan mencari pasangan, yang akhirnya mengancam keberlanjutan populasi jangka panjang.

Tak jarang, mereka terpaksa turun ke kebun sawit atau pertanian masyarakat untuk mencari makan. Di sana, mereka diburu atau dibunuh karena dianggap hama.

Bayi-bayi orangutan yang selamat bahkan sering diperjualbelikan secara ilegal sebagai hewan peliharaan. Inilah potret tragis hubungan manusia dan satwa yang kian timpang.

Namun, penting disadari bahwa hilangnya orangutan bukan hanya kehilangan satu spesies, melainkan kehilangan penjaga alami hutan. Orangutan berperan sebagai “engineer hutan tropis” karena menyebarkan biji-bijian dari buah yang mereka makan.

Tanpa mereka, regenerasi pohon terganggu dan keanekaragaman hayati hutan berkurang drastis. Jika populasi orangutan punah, proses alami pemulihan hutan akan terhenti dan pada akhirnya manusia juga yang menanggung akibatnya: tanah longsor, banjir, kekeringan, dan perubahan iklim ekstrem.

Meski situasi ini suram, masih ada harapan jika langkah nyata segera dilakukan. Teknologi modern dapat menjadi sekutu konservasi. Penggunaan drone, kamera trap, dan GIS (Geographic Information System) membantu memantau populasi dan mendeteksi deforestasi lebih cepat.

Pendekatan rehabilitasi dan reintroduksi melalui pusat konservasi juga terbukti efektif, terutama jika didukung dengan pelacakan GPS dan analisis DNA untuk menjaga keragaman genetik.

Lebih jauh, teknologi bukan hanya alat, tetapi sarana untuk meningkatkan kesadaran publik—misalnya lewat kampanye digital, media sosial, hingga simulasi realitas virtual (VR) yang memperlihatkan keindahan dan kerapuhan habitat orangutan.

Namun, teknologi saja tidak cukup. Akar persoalan deforestasi ada pada ketimpangan ekonomi dan rendahnya kesadaran lingkungan. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan pembalakan liar.

Perusahaan sawit wajib menerapkan prinsip keberlanjutan dan transparansi rantai pasok. Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam upaya konservasi, bukan dijadikan penonton.

Melalui pendekatan eco-tourism berbasis komunitas, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari menjaga hutan, bukan dari merusaknya.

Konservasi orangutan seharusnya tidak dianggap sebagai beban, tetapi investasi ekologis jangka panjang. Dengan menjaga TNGL dan ekosistem Leuser, kita menjaga sumber air, udara bersih, dan kestabilan iklim yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Sebagaimana disebutkan dalam kesimpulan laporan, tanggung jawab konservasi bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga swasta, tetapi tanggung jawab moral seluruh masyarakat.

Bayangkan jika suatu hari anak cucu kita hanya mengenal orangutan dari foto di buku pelajaran. Itulah masa depan yang akan datang jika kita terus mengabaikan peringatan alam hari ini.

Menyelamatkan orangutan berarti menyelamatkan diri kita sendiri, karena manusia dan hutan adalah satu kesatuan ekologi yang tak terpisahkan. (Red)

*) Penulis: Luky Philipi Sembiring, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

 

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like